One
Fine Day
A Cerpen by Annida Sholihah
© April 2016
|
Orang yang paling nyebelin,
omongannya pedes melebihi pedesnya level 15 bubuk cabe yang di jual di
supermarket, dan kadang ngeselin, plus sering banget bikin orang lain
kehilangan mood nonton drama. Itulah Dimas. Sahabat ter-absurd yang pernah
Tuhan kirim ke aku, semenjak jaman alay melanda.
Selama 3 tahun
persahabatan kita, dialah salah satu sahabat yang pertama kali aku kasih tau
rahasia terbesarku, salah satu sahabat yang pernah menyaksikan aku jatuh cinta,
patah hati, dan di kasih harapan palsu oleh gebetan, untuk yang pertama
kalinya…
“Woy, cacingan… bangun
napa. Sholat subuh woooy!!!” siapa coba yang gak tau malu nya ngirim pesan
suara via bbm pagi-pagi buta, pukul 04.00 wib? Siapa lagi kalau bukan cowok
mulut berbisa harimau, Dimastio Hanan! Waktu aku tanyain alasannya ngirim bbm sepagi
itu, simple banget guys jawaban dia, pengen lemparin anak orang ke Pluto deh, ‘hehe, kan lo Semarang, gue Bandung, lo
Timur, gue Barat. Beda waktulah kita!’ kan kempret kan. Uh, Dimas mah gitu
orangnya sih.
Masih setengah nyawa,
aku bales aja tuh pesan, pernah kejadian, aku cuek bebek sama pesan-pesan
Dimas, gak taunya ini anak telepon mulu ke nomer handphone aku. “Iya, playboy
gak laku… gue bentar lagi bangun kok.” –send.
Belum semenit, pesan kedua Dimas muncul, gak aku read sampai si rese
nge-ping terus. Berisik!
“Bangun tukang mewek! Lo
mau gue sunat?” meski nyebelin, apa yang dikatakan Dimas selalu bikin aku
ketawa gak jelas macem orang gila, entahlah… aku udah sering dapet pesan
nyeleneh darinya, dan aku tetap tertawa seperti biasa. Aku berhenti tertawa,
dan mulai mengetik sesuatu, “hm…”
“hmmm doang gitu? Nyawa
lo ambil lagi gih di malaikat pencabut nyawa.”
“astagfirullah, omongan
lo nihya!” -send
“hahaha…” ___ “ohiya,
jangan lupa doain gue langgeng sama Mala yeh, biar lo makin jelek mblo.”
“ogah! Semoga besok lo
putus. Amin!” -send
“semoga lo jomblo seumur
hidup. Amin!”
“apasih sih lo, gak mutu
banget doa lo.” -send
“lo tuh yang mulai
duluan ngajak ribut.”
“bodo.” -send
Dan begitulah
seterusnya, obrolan kita memang tak berarti, penuh sindirian, anehnya aku gak
pernah merasa sakit hati atas semua kata-kata Dimas.
Flashback ke 3 tahun yang lalu, awal dimana untuk pertama kalinya,
aku dan Dimas kenal satu sama lain. Hari itu merupakan hari terakhir mabis
(masa bimbingan study) bagian dari kegiatan yang wajib di ikuti untuk seluruh
murid baru siswa putih abu-abu. Dimas dan aku, adalah dua orang sejoli yang
hidup di dua dunia berbeda, layaknya tom dan jerry, atau kadang kita juga
keliatan mirip Marsya dan si the Bear besar, aaah yang jelas- kita itu rumit!
Dimas itu cowok popular di sekolah, bahkan ketika kelas sebelas, dia
menjadi the best Famous, kelas dua belas, dia menjadi Prince Senior High
School. Dan saat masih menjadi kerupuk, alias masih kelas sepuluh, Dimas sudah
membawa gelar unyu kebanggaan: Best Junior. Asem ya. Saking banyaknya gelar
yang nacep, saking banyaknya fans, saking gantengnya, saking kaya orang tuanya,
semakin kenal dengan orangnya semakin pengen muntah di kolam renang.
“hay cantik. Aku suka
juga dengan Andrea Hirata,” ucap Dimas, pakai senyum, gak pakai sayur, satu jam
sebelum upacara penutupan mabis hari terakhir.
Saat itu, aku emang
tengah membaca sebuah novel tebal tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata,
penulis favorit aku sejak SMP. Aku tersenyum penuh binar, tanpa menyadari ada
banyak pasang mata yang menyaksikan percakapan paling sakral buat aku.
“oh, kamu suka? Aku
jugaaaa!” demi Allah, aku nyesel ngeladeni Dimas kelewat histeris waktu itu.
Bukan malu, tapi ini masalah harga diri setelahnya.
“kamu, mau gak jadi
teman hidup aku,” sejenak aku tergugu, menatapnya cengo.
“maksudku, ehm, aku suka
cewek yang suka juga dengan Andrea Hirata. Susah banget deh nyari cewek yang
suka penulis Favorit aku itu. Aku ngerasa kita bisa cocok.” Senyumnya beneran
mirip yang ada di iklan pepsodent, bahkan giginya rapi putih mengkilap. Fiuuuy.
Aku pun tersenyum dan
mengangguk, memberikan tanganku pada uluran tangannya. Dan seketika itu juga,
banyak bisik-bisik aneh, sorakan wuwuwuuuu, atau bahkan ada yang tertawa
mengejek dan bertepuk tangan. Rasanya, ketemu Dimas untuk pertama kali adalah
mimpi yang tak nyata. Setiap aku ingat kenangan itu, setiap waktu itulah Dimas
akan berkata, “maaf.” tanpa ekspresi.
Jadi setelah upacara
penutupan mabis, Dimas menghampiri aku dengan cokelat dan gantungan kecil
bergambar paris yang lucu banget, “Hey, maafin aku ya…” ucapnya, terdengar
tulus sih. Tapi maaf ya, aku terlanjur kesel setengah mati dengannya, gara-gara
dia, hidup aku di SMA bakal jadi bulan-bulanan senior cewek ._.
Bayangin aja, Dimas
minta aku jadi ‘pacarnya’ di hadapan pasang mata, terus dia bilang maaf setelah
aku bilang ‘iya’ bahwa tadi cuman hukuman dari kakak senior, dia sendiri (katanya)
bahkan udah punya pacar, dan yang bikin tambah kesel, Dimas itu bawa-bawa nama
penulis kesayangan aku!
Saat kelas sebelas, aku
memutuskan maafin dia dengan berbagai macam syarat, simple nya, aku bener-bener
sudah lelah menghadapi sifatnya yang absurd. Jahat ya, masa maafin hal begituan
aja butuh waktu setahun?
“Lo mau gue maafin? Gue
punya tiga syarat. Satu, jangan pernah jadiin Andrea Hirata jadi penulis
favorit lo lagi, gue jijik nge-dengernya, dan gue terlalu trauma sama kata-kata
najis lo waktu iu. Dua, jangan pernah gangguin gue lagi, gue udah maafin lo,
gue bakal lupain hal itu. Tiga, anggep aja kita gak pernah kenal. Udah itu
doang.” habis itu aku langsung ngeloyor pergi dengan ekspresi jutek. Sekilas,
aku masih bisa liat Dimas yang shock, bodo amatlah, salah sendiri bikin harga
diri aku serasa di injak-injak.
Dan sejak hari itu juga,
Dimas bener-bener menjauh. Gak ada lagi yang gangguin aku waktu istirahat, gak
ada lagi yang setiap hari bawain aku cokelat dan koleksi barang-barangnya, gak
ada lagi puisi maaf di mading sekolah setiap minggu selama satu tahun, kok aku
kangen Dimas, ya?
Alhamdulillah, dua
minggu kemudian, anak Pluto ini menampakkan wajahnya kembali di depan kelas
aku, plus dengan sekotak beng-beng dan 14 bunga warna-warni. Pacarnya sendiri
yang beda sekolah aja jarang kok di kasih cokelat, nah aku? Hadeeeeh---
“Sawarna Aisyah Putri.
Lo gak usah maafin gue deh kalo kayak gitu. Gue ogah nerima syarat lo. Titik!”
abis teriak begitu di pintu masuk kelas orang, naruh sekotak beng-beng dan
bunga di depan meja aku, itu aliens langsung balik ke UFO mungkin. Aku aja
sampe gak sempet protes. Ngeyel emang deh.
Hari-hari berikutnya,
Dimas terus ngikutin aku sepulang sekolah. Maksa aku untuk ngasih tau pin bbm,
WA, konfrim IG, Path, Fb dan twitter yang sengaja aku protect. Bahkan
ngaku-ngaku mau belajar kelompok di rumahku, jelas-jelas Dimas IPA dan aku IPS!
Lucu dimananya coba?
“Dimastio Hanan!”
“Eh, gue baru tau lo
hafal nama panjang gue…” emang deh, gak ada gunanya marah-marah sama anak ini
guys.
“serah lo lah. Capek
gue.”
“begitu pun gue…”
Bayangin, tanpa Dimas,
aku pasti masih jadi anak kutu buku yang gak pernah liat betapa ciptaan Tuhan
ini indah dan luas. Dimaslah orang yang dengan sabar selalu mengatakan, ‘yuk
jalan-jalan,’ ‘yuk tracking gunung,’ ‘eh liburan ke pantai mau gak?’ dengan
sejuta kali penolakan dariku.
Dimas adalah
satu-satunya orang penting yang punya tujuan khusus untuk dapat dipertemukan
dengan orang-orang sepertiku. Hari-hari dengan Dimas adalah hari terbahagia
yang pernah aku lalui, dan aku bersyukur, meski dia hanya seorang sahabat, dia
lebih dari segalanya untuk melalui ini. Seperti hubungan antara matahari dan
bulan ketika gerhana, aku berharap hubunganku dengan Dimas selalu bertahan
untuk waktu yang lama.
-END