Lembayung Senja Masa Lalu
A Cerpen by Annida Sholihah
© Maret 2016
Sebuah lingkaran di langit mulai meredup, hilang dalam sekejap, kita
menyebutnya sebagai matahari, namun ayahku mendefinisikan lingkaran di langit
itu merupakan titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan
terang dan sinar pada bumi.Tak lama
setelahnya, samar-samar aku mendengar suara adzan maghrib bergema di seluruh
penjuru masjid yang bertebaran dalam lingkungan rumah almarhum nenekku sejak
beliau masih kecil. Salah satu hal yang aku sukai dari senja disini, gema
maghrib yang seolah-olah saling berkejaran, saling mengingatkan bahwa sudah
waktunya kita yang masih berkerja untuk berhenti, yang masih diluar agar segera
memasuki rumah, dan anak-anak kecil yang masih riang bermain segera ambil
sarung beserta mukena mereka, pergi ke masjid bersama-sama dan kemudian
melanjutkan belajar – sholat isya – tidur.
“Seya, masuk… sudah maghrib.” Suara umi menghentikan nostalgia menyedihkan yang baru saja berputar di kepalaku. Aku
menoleh ke dalam rumah almarhumah nenek yang cukup besar, namun rapuh.
Tampaknya rumah nenek tak terawat dengan baik sejak keluargaku pindah. 10 tahun
lalu. Saat aku menginjak kelas 4 SD, ayah memutuskan untuk mengadu nasib
keluarga kami ke Jakarta, dan membawa seluruh keluargaku pindah ke kota Serang,
kota kecil yang berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta. Pada tahun yang sama dengan
kepindahan kami, almarhumah nenek meninggal, sejak saat itulah rumah
peninggalan nenek dan tempatku melewati masa kanak-kanak tak ada lagi yang
merawatnya.
“Sholat maghrib, kemudian pergi ke ruang tamu. Ada yang ingin kita bahas
disana.” Ucap umi kembali mengingatkan. Aku mengangguk dan lekas berlari
menembus rumput-rumput liar di halaman belakang rumah nenek yang luas sebelum
benar-benar gelap. Air keran dari sumur mulai mengalir dengan deras, airnya
dingin dan segar. Salah satu hal yang tak bisa aku nikmati di rumahku sekarang,
ataupun di kost tempatku merantau.
Selepas
maghrib, sudah ada abi dan umi dengan seporsi teh hangat dan gorengan tahu aci yang sering umi masak di rumah
Serang, tahu aci disini rasanya
benar-benar enak, tahu nya merupakan
olahan yang khas dan cocok digoreng dengan tambahan aci.
“Kayaknya masalah penting abi nyuruh
Seya pulang ke Tegal. Biasanya juga gak boleh, kan?” tanyaku, ada beribu rasa
penasaran dari pertanyaan yang pendek. Ayah adalah seorang doctor di bidang
ilmu komputer dan seorang insiyur lulusan teknik elektro Undip. Ayahku merupakan
seorang yang berbicara irit, juga tak mudah dimengerti. Aku heran, bagaimana
kisah umi dan abi bisa bertemu, karena ayahku bukan tipe yang romantis dan tak
paham akan perasaan seorang gadis. Bagian terburuknya, aku punya tiga saudara,
dan semuanya adalah perempuan.
Abi berdehem, “Ini tentang sebuah
masalah serius. Waktu itu, umi sama abi belum memutuskan untuk memberitahu ke
kamu masalah ini.”
Aku masih
diam mendengarkan, mataku berkedip sesekali, aku masih tak paham.
“kamu masih
ingat tante Nia?” nama tante Nia sudah tak terdengar setelah kian lama, sejak
aku masuk di bangku SMA tepatnya, tante Nia, seorang ibu dua putra yang sering
membawaku pergi ke tempat-tempat menyenangkan jika aku berkunjung ke Tegal. Dan
salah seorang anak laki-lakinya adalah sahabatku, yang sejak aku masih bayi,
dia selalu menjadi ksatria dimanapun kapanpun. Aku mengendikkan bahu, tanda
bahwa aku masih gak paham kemana arah pembicaraan ini.
“tante Nia dipenjara. Terkena kasus
korupsi.” Ucap abi to the poin.
Bagian terpenting dari mengobrol dengan ayahku adalah selalu tepat sasaran,
tanpa berbelit kemana-mana.
Aku kembali
berkedip, otakku memaksa keras untuk berpikir. Dan tenggorokanku tercekat,
“hahahaha. Abi gausah ngelawak deh. Gak lucu tau, bi. Huhuuu.” Jawaban yang
ganjil. Dan meskipun aku tau bahwa seorang keras kepala seperti ayahku tak
mungkin bercanda dalam suasana seperti saat ini.
Aku ingat kejadian 5 tahun yang lalu, saat umurku 15 tahun. Selepas
pengumuman tanda kelulusan dan tes masuk SMA, rencananya aku akan berkunjung ke
Tegal, menginap di rumah tante Nia dan bermain sepuasnya bersama Danial
Putranto, salah satu anak laki-laki tante Nia yang juga sebaya denganku. Namun
entah kenapa, abi dan umi melarang keras rencana liburan tersebut. Waktu itu,
aku tak pernah berfikir tentang hal buruk mengenai keluarga Nial.
Abi
menuangkan air teh Poci khas Tegal ke dalam tiga gelas yang tersedia disana,
memakan beberapa kue buatan umi, dan menatapku penuh horror.
“Abi serius
Seya. Dan bertanyalah pada umimu tentang apapun yang ingin kamu tau.” Ujar abi
mengakhiri berita buruk hari ini.
“Bi, abi sama
umi bela-belain ke Tegal cuman mau ngasih kabar itu? Bi, kenapa gak…” ucapanku
terpotong saat sebuah tangan yang hangat menyentuh pundakku.
“Abi sama umi
ada urusan di Tegal, rumah ini udah lama gak terawat.”
“Maksud umi,
rumah ini mau dijual?”
“Dan sudah
seharusnya kamu ketemu Danial, say hello sama dia. Nanti umi kasih alamatnya di
bbm.” Umi mengalihkan pembicaraan, meski begitu aku hanya mengangguk. Memilih
untuk tak membahasnya, sebagian diriku sebenarnya masih tak percaya tante Nia
dipenjara atau sebagian diriku juga tak rela rumah almarhumah nenek dijual.
Besok, selepas sholat subuh, mungkin saat itulah aku butuh jawaban pasti.
Biarkan saat ini aku berfikir bahwa mungkin umi dan abi hanyalah bercanda,
karena aku benci berita buruk.
___
Selepas
sholat subuh, umi bercerita banyak perihal kronologis tante Nia. Meskipun
begitu, orang tuaku selalu menuntut anaknya untuk mendapatkan jawaban sendiri.
Dan umi juga berpesan kembali tentang Danial, aku sering memanggilnya; Putra
Daniel. Namaku Senja Putri Firmansyah, aku suka menyandingkan nama Putra dan
Putri yang melekat dalam nama panjang kita.
PING! Beberapa pesan BBM masuk, salah
satunya dari umi.
- Jalan
Blimbing 2, nomer 23. RT 002 RW 016. Kelurahan Pekauman-Tegal Barat.
Aku teringat kembali pesan dari umi sebelumnya, “Jangan lupa
salam dari abi sama umi untuknya yaaa Seya, dan berkunjunglah sore. Umi pikir
Danial pulangnya sore."
PING! Beberapa pesan masuk
lainnya dari Grup Triple S, sahabat-sahabatku sewaktu SMA di Serang.
- Hey,
Ja… pm lo kenape? Gaslawwww cieeh. @sarahsabilla
- Iya
nih, lo kenapa? Ceritaaaaaa. @shellaAp
Aku tersenyum. Malam sebelum tidur, karena gelisah, aku membuat sebuah
pm:
Musibah Allah.swt selalu tepat,
tetapi tawakal kitalah yang tak bulat. Ingat, kita punya Allah. Dan Allah tak
pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya.
Aaah dasar sahabat sok kepo.
___
Hari ini, aku harus bertemu dengan Danial. Setidaknya, aku ingin
kepastian soal tante Nia dan alasannya karena tiba-tiba menghilang begitu saja
dan tak pernah meninggalkan pesan untukku. Sejak 5 tahun yang lalu.
Menjelang senja, dengan pashmina monochrome dan sepatu converse warna
senada, aku pamit dengan umi, kebetulan abi sedang ke notaris, “jangan lupa
bawa mukena. Dan sholat maghribnya juga, Seya.”
“Iyah mi, sudah Seya masukin nih ke tas. Assalamualaikum. Seya pulangnya
malem loh.” Aku langsung berlari mengendarai motor lama ayahku menuju alamat
Danial setelah mencium punggung tangan umi.
___
Aku menunggu lebih dari
45 menit di depan sebuah pintu kayu yang tampak keropos, hanya sisa cat cokelat
tua dan bahkan warnanya sudah tak dapat menutupi keseluruhan pintu. Bangunan
tersebut tampak sederhana, beberapa pohon liar tumbuh di sepanjang halaman yang
kecil, sangat rapi dan terawat, padahal itu hanya beberapa rumput yang biasanya
aku temukan di padang ilalang kebun Eyang kakung. Karena lelah menunggu sang
tuan rumah yang tak kunjung pulang, aku memilih berjongkok di bawah sebuah
jendela yang sama rapuhnya dengan pintu ber cat cokelat. Seorang nenek yang
berjalan dengan punggung agak membungkuk memberikan sebuah kursi kayu, aku
tersenyum padanya tanpa sempat berucap terima kasih.
60 menit berlalu…
seharusnya aku mendengarkan saran umi agar tak perlu terburu-buru. Aaah,
masalahnya aku sudah tak sabar bertemu dengan Danial. Dia merupakan sumber dari
segala jawaban yang ingin aku dengar, sejak 5 tahun umi dan abi melarang keras
untuk kunjunganku ke Tegal dan Danial hilang dari jangkauan yang bisa ku capai.
Aku khawatir setengah mati. Rasanya aku ingin menentang apa yang selama ini
dilarang orangtuaku.
Dan tepat pada menit ke
65, seorang pria yang jauh lebih tinggi dariku mulai memasuki gerbang cokelat, gerbang
dengan warna awal hijau, karena berkarat, warna hijau tersebut pudar. Ia menatapku
dengan penuh tanda tanya: apa yang kamu
lakukan disini?
Aku tersenyum hangat padanya dan melupakan kekesalanku karena menunggu,
melihatnya yang kelelahan dengan pakaian penuh keringat, aku benar-benar
melupakan mood jelekku.
“Hai.” Aku berlari kecil
kearahnya. Masih dengan senyuman terlebar yang pernah diperlihatkan kepada
orang lain.
Danial masih tak bergeming, dia menghela nafas sesaat, “Senja?” sama
seperti 5 tahun yang lalu, dia tak berubah. Saat memanggilku, aku yakin sekali.
Danial tak berubah sedikit pun. Kecuali fakta bahwa dia bertambah tinggi dan
kurus, juga ganteng.
“Heh, lupa sama aku
yah?” aku pura-pura cemberut, suasana tampak tegang. Aku hanya bingung darimana
dan bagaimana caranya untuk memulai. Memulai bertanya.
“Sebelum kamu tanya macem-macem, aku kasih tau ya. Umi sama abi
yang ngirim aku kesini buat minta penjelasan ke kamu.” Ucapku cepat. Sama
seperti ayahku, kadang, aku selalu blak-blakan, juga to the point.
Danial memijit keningnya pelan, dan mulai mempersilahkan aku masuk.
Di dalam tak begitu
buruk, meski agak terlihat banyak perabotan yang sudah tua juga usang. Mungkin
aku saja yang sudah terbiasa dengan kehidupan kota. Beberapa barang tertata
rapi, ada sebuah rak yang berisi novel-novel berbagai genre berserta sampulnya
menarik perhatianku. Kesukaan Danial, plus sifatnya yang perfeksionis tak aneh
melihat bagaimana caranya dalam merawat barang-barang tersebut. Aku tersenyum.
Dan sebuah bingkai foto keluarga, lengkap dengan tante Nia, Om Rudi juga Ardan
–kakak Danial- menghentikan senyumanku.
“Penasaran kemana mereka
semua?”
Danial duduk di sebuah kursi jati yang tampak kokoh, satu-satunya benda
yang paling bagus di rumah ini adalah sebuah kursi. Ia sudah berganti pakaian,
rambutnya yang masih basah disisir rapi, dan sudah terdapat hidangan teh khas
Tegal di meja samping. Aku ikut duduk, dan mulai mengeluarkan kue yang sudah
sejak tadi dibeli saat melewati alun-alun. Roti bakar favoritku.
“Eh, iya… em, gimana yah
tanyanya?” ucapku mulai ragu.
Danial tersenyum,
bersamaan itu, cahaya khas senja menembus jendela yang sengaja terbuka, “Aku
gak nyangka kita bisa ketemu lagi secepat ini.” Dan senyuman Danial adalah
salah satu senyuman yang menjadi doaku selama ini. Aku masih diam,
memperhatikan caranya tersenyum, bertanya-tanya apakah itu senyuman tulus atau
paksaan?
“Aku seneng, tapi juga
malu.” Ucapnya lagi, ada kesedihan di matanya, sekilas. Hanya sepersekian
detik, dan Danial pandai sekali menutup luka.
“Kenapa.” Ucapanku bukan sebagai pertanyaan sesungguhnya, hanya sebagai
pernyataan.
Danial itu bukan sahabatku, dia lebih dari segalanya. Danial adalah
duniaku saat itu. Dan fakta bahwa ibunya korupsi, ayahnya membawa kabur
sejumlah uang tersebut dengan wanita lain, kakaknya yang entah menghilang
kemana adalah fakta paling menyakitkan yang pernah aku terima. Keluarga kita
dulunya sangat dekat.
“Kamu tau aku harus
jauhi kamu. Umi terseret dalam pengadilan karena nomer rekening yang mamah
gunakan itu nama orangtuamu, aku yakin umi sudah cerita ke kamu.” Danial duduk
di sampingku, kita berdua terdiam menyaksikan senja. Seperti masa kecil kita.
“kamu tau… terbenamnya matahari banyak sekali dimaknai sebagai fase
penyempurnaan, dalam penanggalan islam, saat-saat lembayung merupakan saat-saat
pergantian hari. Dan yah, dalam system penanggalan islam tersebut permulaan
sebuah hari diawali dengan gema adzan maghrib, bukan pada jam 12 malam.”
Ada jeda sejenak. Danial
menghela nafas. Aku masih gak paham kemana arah pembicaraannya, “disetiap sore,
selepas pulang dari aktivitasku, aku duduk disini. Menatap lembayung senja. Dan
menunggu hingga suara muadzin berakhir pada
laillahaillaullah.”
Dari caranya mengucapkan
kata ‘aktivitas’ daripada ‘bekerja’ aku sadar, Danial sedang membicarakan
tentang dirinya.
“Aku berfikir soal
hari-hari di masa lalu. Kalau aku tau apa yang mamah perbuat, mungkin semuanya
punya akhir yang berbeda. Tapi hey, nasi sudah menjadi bubur. Satu-satunya cara
untuk menebus dosa adalah dengan bertanggung jawab. Kamu dan keluargamu, juga
aku dan kak Ardan adalah korban dari ketamakan, Senjaaa… jadi, aku memilih
jalan ini. Menjalani hidupku, mimpiku, juga berjuang sendiri menanggung
semuanya, dan menjauhi kamu adalah satu-satunya caraku untuk meminta maaf
kepada keluargamu, juga melindungimu.”
Aku masih terdiam, dan membiarkan
Danial menyelesaikan keseluruhan yang ingin ia ucapkan.
“maaf….”
Dan ucapan Danial
berakhir pada satu kata yang sama sekali tak ingin aku dengar, “kenapa…. Kenapa
kamu minta maaf Dani.”
Dan bodohnya, air mataku sudah sampai di ujung mata, jika aku berkedip
sekali saja, pasti akan tumpah, mengalir di pipi dan berakhir pada kerudung
pashimna.
“di waktu lembayung
senja menyapa, aku ingin melupakan masa lalu. Tapi kamu tau, masa lalu
merupakan masa lalu, bagi beberapa orang, masa lalu tetap menjadi kenangan yang
sulit terhapus. Terutama kenangan menyakitkan.”
Dani terseyum menenangkan. Dan ia mulai beranjak ke sebuah ruang tanpa
pintu, hilang dibalik tirai, tepat saat muadzin mengumandangkan adzan. Dani
kembali lagi dengan dua sajadah dan lengkap dengan peci juga sarung untuk
sholat.
“ayo sholat maghrib
berjamaah di masjid dekat sini. Kamu bawa mukena, kan?” ia mengulurkan salah
satu sajadahnya padaku, mendengar ajakannya, aku gagal menangis meraung-raung.
Lupakan air mataku. Kita berdua berjalan bersisian menuju rumah Allah. Masjid.
“akan selalu ada hari
esok yang baru setelah lembayung senja hari ini. Aku senang umi dan abi sudah
mengijinkan kita bertemu kembali. Dan aku bersyukur, sambutanmu hangat, tak
membenciku, juga menerima maafku.”
Aku tertawa mendengar pendapatnya, “aku gak maafin kamu loh ya.
Engga akan aku maafin sampe kamu bener-bener bisa jadi orang sukses. Kamu tetep
punya kewajiban buat wujudkan impian kamu yang dulu, Dan.”
Danial tersenyum, aku
lebih banyak melihat senyuman daripada kesedihan, ataupun rasa bersalah,
syukurlah. Aku berjalan mendahuluinya, meleletkan lidah dan berlari menuju
tempat wudhu khusus perempuan.
Begitulah lembayung
senja sore itu berakhir. Memulai lembaran baru adalah satu-satunya jalan untuk
kita memaafkan masa lalu. Selalu ada masa depan, selalu ada solusi pada setiap
kondisi apapun yang pernah terjadi dalam hidup kita.
-END
Saya selalu jatuh cinta sama cerpen kaka. Overall, ceritanya menyentuh sekali T.T
ReplyDeleteTerus berkarya yah!