Hujan di Bulan November
A Cerpen by Annida Sholihah
© Mei 2016
Sudah 2 tahun berlalu sejak seseorang meninggalkan luka hati. Fakta bahwa
aku masih belum benar-benar move on adalah fakta paling menyedihkan soal cinta
yang bertepuk sebelah tangan. Seseorang yang bahkan tak mengatakan kata maaf
dengan tulus karena melakukan hal ini, membuatku jatuh cinta dan pergi entah
kemana seolah dia tak pernah hadir, menghilang begitu saja. Orang itu seperti
angin, tak bisa aku gapai. Angin pada musim hujan di bulan November, dan cerita
ini berawal dari sana. Pertemuan singkat kita.
***
Tahun 2014
“Sendirian? Hujan loh…” seseorang dengan balutan kemeja putih dipandu
jaket hitam bersandar di sebelahku yang tengah meneduh dari hujan malam itu.
November 2014. Aku hanya menoleh sesaat dan memilih untuk diam, aku tak kenal
dia. Bagian lain dari otakku mengaktifkan sinyal bahaya.
“ada suatu mitos dari buku yang gue baca. Katanya kalo cowok sama cewek
ketemu berdua, terjebak hujan berdua, di suatu waktu pada bulan November.
Namanya jodoh,” dengan sengaja, dia yang tak kutahu namanya itu menoleh,
memperhatikan reaksiku yang datar. Sejujurnya, aku hanya lelah meladeni orang
tak dikenal hari ini, karena seharian aku sudah cukup kena sial. Ia berdehem
saat aku masih saja diam, seolah tak ada yang berbicara apapun beberapa detik
yang lalu.
“So? Gue kudu seneng, gitu?” jawabku malas, aku sengaja menggunakan kata
‘gue’ daripada ‘aku’ padanya, mengingat ia juga mengawalinya dengan kata ganti
‘gue dan lo’. Ini sudah beberapa waktu berlalu sejak aku berada di Semarang,
bahkan aku sudah lupa rasanya berbicara tanpa logat bahasa jawa.
Dari penampilannya, cowok itu kemungkinan orang kaya. Ia mengenakan
sepatu Nike Air Jordan asli yang harganya selangit, sangat modis dipadukan
dengan celana jeans hitam. Rambutnya pendek agak kecoklatan dan disisir rapi,
beberapa bagian tampak basah. Dan ia mengenakan earphone hitam dilehernya, dan
satu tangannya memegang sebuah helm hitam. Serba hitam itulah warna yang membuatku
mengaktifkan tanda bahaya karena tak memperhatikan keseluruhan penampilannya.
Aku akhirnya sadar, orang yang beberapa waktu lalu sedang berusaha memecah
keheningan adalah seorang cowok yang ganteng. Dan mengingat diriku yang fansgirling, aku seharusnya histeris.
“apa sih liat-liat.” Aku mengerutkan kening saat sadar bahwa sejak tadi,
aku baru saja kagum--- ralat, aku baru saja penasaran dengan menatapnya penuh
selidik dari atas sampai bawah.
“apa gue keliatan kayak orang jahat? Mana ada orang jahat, punya muka ganteng
kayak gini?”
Aku tertawa sesaat dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, “lah, kan
orang jahat biasanya bersembunyi di balik topeng. Muka-muka kayak lo tuh yang
bikin gue curiga,” aku menatap ke arah sepatunya kembali, “gue lagi
bertanya-tanya, itu sepatu yang lo pake asli atau kagak? Palingan beli di
pasar.”
Dan pertanyaan barusan sukses membuatnya tertawa, ia menatapku seolah aku
gadis aneh yang baru pertama kali ditemukan di planet yang bernama bumi, “serah
lo deh. Kayaknya mood lo lagi jelek. Btw, lo lucu…”
Kita berdua terdiam cukup lama, saat itu hujan semakin deras, dan semakin
menjadi dingin. Pukul 22.30 wib. Dan hujan masih belum reda meski sudah lebih
dari 20 menit kita meneduh. Beberapa kali aku mengeratkan tas ransel hijau
pemberian umi pada saat ulang tahunku ke-19. Aku menoleh, dan ia tengah
mendengarkan musik dari earphone nya,
pantas saja… hening.
“bosen? Nih, mau dengerin lagu kagak?” ia melepas satu earphonenya, dan
menyodorkannya padaku, “tapi ada syaratnya…” dan yak, aku hampir saja menerima earphone itu! Huh.
“kasih tau nama lo.” Ujarnya. Ia menunggu jawabanku.
“Ai.” Aku mengambil earphonenya
secara paksa, ah masa bodolah, kalo rusak yaa tinggal ganti rugi.
“Ai? Aishiteru?”
“Aida.” Ucapku mulai jengkel. Alunan lagu barat yang lembut mulai
terdengar dari earphonenya . Ia rupanya penggemar musik klasik.
“Nama gue Acil, btw.” Dan cowok yang mengaku bernama Acil tersebut
tersenyum. Benar-benar senyuman sesungguhnya. Aku penasaran, apa artian nama
Acil? Apa itu benar-benar nama asli?
Pada alunan terakhir dari musik Beethoven 6th symphony, hujan
mulai reda, menyisakan rintik-rintik dan embun pada pepohonan. Aku dan Acil
sama-sama melepas earphone kami,
“Rumah lo mana? Gue anterin pulang. Udah malem banget. Dan gue gak maksud
macem-macem.”
“deket kok. 20 menit jalan dari sini. Gue bisa jalan aja. Hujan udah
reda.” Aku sebenarnya berniat menolak. Apa daya, Acil tetap memaksa layaknya
seorang kakak yang sedang menasehati adiknya agar tak nakal, bikin jengkel.
“iya deh gue naik motor lo. Dah ah lo diem, yang cewek disini gue, bukan
lo.”
Acil tersenyum mendengar komentarku, kupikir ia akan marah, “lo mahasiswi,
ya? Lo gak keliatan kayak mahasiswi asal sini.”
“iya gue nge-kost. Dan btw, lo kok tau?”
“dari logat lo. Pegangan.” Ucapnya sebelum motor Honda Verio Metik plat H
yang kita naiki meluncur, menembus rintik-tintik hujan malam pada waktu
November 2014.
“nah sampai.” Aku akan berucap terima kasih dan memasuki gerbang dengan
kunci kost yang sudah siap di tangan, tapi Acil kembali menahanku, ia
mengeluarkan handphone nya. Sudah kuduga ia orang kaya. Handphonenya saja
Iphone.
“minta id line lo.” Ucapnya.
Aku mengerutkan kening, sebenarnya aku tak pernah berharap bisa bertemu
dengannya lagi, atau berkomunikasi dengannya. Pertemuan dengan Acil adalah
pertemuan yang kuharap hanyalah mimpi sesaat di kala hujan. Ini gak nyata, Acil
terlalu sempurna buat cewek semacam aku.
“Lo habis makan apa sih? Yakin pengen minta id line gue? Gak nyesel nih
kedepannya?”
“kenapa gue harus nyesel. Gue tertarik dengan lo. Menurut gue, lo beda
dari yang lain.”
“oke. AidAssaji. Dah tuh. Gue gak akan ngulang dua kali ye, bye. Makasih
buat tumpangan lo.”
“eh, eh… tunggu, assa apa barusan? Hei!” aku langsung ngacir pergi tanpa
mau mendengarkan protesnya dan terkikik geli dengan tindakanku. Hah, kalau Acil
tak menemukan id line ku, jangan mewek, jangan nyesel Ai.
***
Pagi hari, pukul 05.00 wib, selepas sholat subuh di kamar kost, aku
membuka tab yang sejak malam mati karena kehabisan battery. Ada beberapa notice dari grup bbm, ig, dan facebook yang
masih terhubung dengan akun. Saat mengecek line, ada beberapa teman baru
meminta persetujuan pertemanan. Aku mengerutkan kening saat sebuah nama yang
asing memintaku menyetujui pertemanannya yang ia temukan dari id line; Niam Ramdani. Profil picture yang ia gunakan
cuman sebuah kalung dan earphone, bukan foto diri. Aaah, tauklah, aku
memutuskan mengklik tombol terima.
Pukul 09.30 wib, selepas kelas mata kuliah pak Bambang. Aku mencari salah
satu tempat yang berada pada jangkauan wifi
kampus. Biasanya tempat-tempat seperti itu merupakan tempat yang ramai. Dan di
bangku taman gedung A, aku memilih duduk, sendirian, menunggu jam kuliah
selanjutnya, menunggu teman satu kelasku datang ke kampus. Ada sebuah pesan
dari line; Niam Ramdani.
© RamdaNiam: hey, apa kabar? Gue
masih kesel soal semalem loh.
© AidAssaji: siapa lo.
© RamdaNiam: menurut lo?
© AidAssaji: Acil?Anak Kecil? -__-
© RamdaNiam: nah, tuh tau. Emotnye
biasa aja keles.
© AidAssaji: wkwkwkwk, akhirnya lo
nemuin Id line gue yah.
© RamdaNiam: ye.
© AidAssaji: hm
***
Hubungan kita berkembang begitu cepat, aku dan Acil. Kita selalu
mengobrol banyak hal, dan bertemu di akhir pekan. Belakangan, aku tau bahwa
Acil di Semarang dalam rangka penelitian skripsinya di bidang Sosial Kemasyarakatan.
Kita berdua menjadi lebih dekat dalam 3 bulan.
Menjelang liburan semester, bulan Februari. Selepas aku menyelesaikan UAS
terakhir yang membuat beberapa mahasiswa stress,
sebuah pesan masuk dari line merubah beberapa hal. Pesan dari Niam Ramdani a.k.a
Acil.
Memang, aku dan Acil beberapa minggu tak bertemu. Beberapa waktu tak lagi
berkirim pesan, tak lagi bertukar kabar dan cerita. Kupikir, ia menjaga jarak
denganku, saat perasaanku padanya mulai tumbuh. Dan aku tak tau alasannya
sampai pada hari ini, bahwa aku hanyalah… hm?
© RamdaNiam: Hallo, Aida
Assaji. Terima kasih untuk 3 bulanmu yang istimewa. Seperti yang kamu tau bahwa
aku di Semarang dalam rangka penelitian untuk skripsi. Dan beberapa hal yang
tak pernah aku bicarakan selalu punya alasan. Aku minta maaf. Sejujurnya, kamu
hanyalah sebuah subjek bagiku dalam penelitian yang tengah berjalan ini. Aku
meneliti dalam bidang sosial kemasyarakatan dan aku tertarik pada argumenmu,
juga karaktermu. Bisa dibilang, aku juga belajar psikologi dan memasukkan
psikologi dalam penelitianku.
Maaf, Aida. Aku goyah dan ragu
saat kamu mulai menaruh hati padaku. Dan aku gak bisa menjanjikan bahwa kamu tak
akan tersakiti pada akhirnya. Aku tau, aku keterlaluan. Itulah sebabnya aku
mundur dan berusaha memperingatkanmu untuk tak jatuh hati.
Terimakasih untuk waktumu.
Sejujurnya, aku gak bohong soal bahwa kamu adalah seorang gadis yang
menakjubkan dan unik dan lucu dan cantik. Kamu berhak suka pada orang yang
lebih baik.
Nb: gue bakal tetap membuat
penelitian dengan subjek adalah; lo.
Selamat tinggal, berharaplah
bertemuan kita hanya mimpi - dari Acil
Aku tertawa sumbang saat membaca pesan line terpanjang yang pernah
seseorang kirim untukku. Beruntunglah aku tak sedang membacanya di kampus atau
di tempat ramai. Iya. Aku sakit hati. Siapa yang bisa menerima bahwa sejujurnya
kamu hanya dimanfaatkan? Dengan kesal, tab tersebut akhirnya menjadi korban.
Tergeletak di kasur.
Setelah menenangkan diri dengan menulis. Aku memutuskan untuk menutup
semua media sosial dan memblokir nama Niam Ramdani di semua media sosial yang
menjadi pertemanan. Baiklah. Bukankah itu yang kamu mau, Niam?
Berharap bahwa pertemuan kita cuman mimpi? Meski mimpi berbekas, mimpi
tak pernah meninggalkan jejak. Kamu pasti cukup pintar untuk tau bahwa kita
meninggalkan jejak dimana-mana, dan luka, luka sudah terlanjur membekas di
relung hatiku. Aku gak tau, dan tak ingin tau, kita lihat apakah waktu
benar-benar bisa menyembuhkan? Seperti yang pernah kamu katakan waktu itu.
***
Tahun 2016
Aku menghela nafas untuk mengakhiri hari, itu semua sudah 2 tahun berlalu
sejak seorang yang senang dipanggil Acil hadir dalam hidupku. Aku mulai
membenci mitos, mulai tak percaya pada cinta sejati dan ragu pada ketulusan
seseorang.
Hari ini, sama seperti pada November 2014. Aku kembali berteduh dari
hujan. Aku menatap langit, bersamaan itu, hampir menjelang pukul 22.00 wib. Aku
selalu bertanya-tanya, kenapa hujan terjadi malam hari? Dan kenapa puncak hujan
selalu berawal pada waktu menjelang pukul 22.00 wib? Dan aku kesal pada diriku
sendiri, kenapa aku tak bawa payung? Aaaah, masa bodoh dengan hujan.
Belum sempat sepatu convers hitamku menyentuh genangan air, sebuah tangan
menarik lenganku menuju tempat berteduh kembali. Alarm tanda bahaya yang
identik dimiliki perempuan menyala, aku was-was, masalahnya adalah karena
sebuah tangan tersebut menggunakan sarung tangan. Teringat pada film-film
bergenre pembunuhan dan detektif yang pernah aku saksikan, semua pembunuhnya
menggunakan sarung tangan untuk mengelabuhi sidik jari. Aku akan mulai
berteriak dan berlari tanpa menatap siapa yang memegang lenganku dalam hitungan
tiga. 1… 2… 3.
“Huahhhhhhhhhhhhh, umiiiii. Ada kecoaaak!” dan seketika itu juga tangan
tersebut terlepas, aku tak menyiakan kesempatan untuk kabur, tak penduli bahwa
hujan masih terlalu deras untuk berlari seorang diri pada malam hari yang
dingin, dan licin.
Selepas insiden ‘baru saja
seseorang akan menculik dan menjadikanku korban pembunuhan.’ Seseorang yang
belakangan sedang mendekatiku di kantor baru, mengirim pesan line:
©MahardikaS: hey, lo udah di kost,
kan? Aku khawatir. Tolong kabarin aku jika sudah sampai kost, cantik.
Ngomong-ngomong, Satria Marhardika merupakan seniorku di kantor, barusan
ia ingin memberiku tumpangan. Tapi boss memanggilnya untuk meeting dadakan. Aaah, harusnya aku mengiyakan saja untuk menunggu
kalau tau hujan akan sederas ini.
©AidAssaji: aku memang sudah di
kost. Lain kali mungkin aku akan nebeng mobil lo pulangnya. Diluar hujan deras,
tau.
©MahardikaS: lo kehujanan?
Hahahaha, baiklah. Jangan lupa makan, nanti sakit.
©AidAssaji: Ya. Lo juga ye…
©MahardikaS: siap, cantik. Bye.
Good night :*
Nama Niam Ramdani muncul di bawah chat
Satria. Beberapa bulan setelah Acil mengirimkan pesan panjang dan menghilang,
aku menulis sesuatu di line, satu-satunya media sosial yang kuputuskan untuk menjadi
korban blokir. Sampai pada beberapa hari yang lalu, Acil tak pernah membuka
pesan yang aku kirim 2 tahun lalu. Dan aku menyesal mengirim pesan tersebut.
Benar-benar penyesalan yang tak bisa di
back. Karena sebagian dari diriku, sampai hari ini, aku masih berharap dia
membacanya. Hanya membacanya, tak perlu membalasnya.
Jadi, malam ini. Setelah beberapa malam yang panjang berlalu tanpa bisa
melupakannya. Seharusnya aku dari dulu menghapus juga line Acil. Karena semua
perkenalan dirinya berasal dari line. Aku mulai membuka percakapan kita berdua
sebelum menekan tanda blokir teman, dan cukup terkejut. Acil sudah membacanya.
IYA. Ada tanda ‘baca.’ Wow! Sejak
kapan ia bahkan membaca pesanku yang sudah 2 tahun berlalu? Itu sebuah
keajaiban.
©AidAssaji: Mungkin lo brengsek. Lo
cowok pengecut yang pernah gue kenal. Lo bisa jadiin gue bahan percobaan skripsi
lo atau apalah. Subyek subyek apaan gue gak ngerti.
Yang pasti, lo harusnya bertanggung
jawab atas apa yang lo torehkan.
Lo bilang apa? Jangan jatuh cinta
sama lo? Hey, siapa yang mendefinisikan cinta adalah hal yang gak bisa kita
kendalikan? Itu lo, Cil.
.
Gue emang udah terlanjur jatuh
cinta sama lo. Dan lo pun tau itu. Gue gak tau perasaan lo gimana. Sejujurnya,
gue udah berjanji untuk fokus dengan impian gue. Tapi lo hadir gak terduga, dan
membuat beberapa hal yang udah gue rencain berantakan. Lo juga bikin luka baru
di hati gue.
Lo tau, gue masih percaya soal
karma pasti berlaku. Dan sialnya, gue juga percaya sama omongan lo waktu hujan.
Tentang jodoh. Lo pasti inget, lo yang bilang soal mitos itu.
Nb: gue udah maafin lo. Bukti bahwa
gue gak ngeblokir line ini adalah gue gak pengen kita musuhan. Makasih buat
waktu lo juga, lo mengajarkan banyak hal ke gue. Bye!
-Aida San
Aku malah mulai bimbang untuk menghapus pertemanan di line dengan Acil.
Aaah, benar-benar memusingkan. Dan keputusannya pun adalah… aku gak jadi
menghapusnya. Aarrrgggghhhh!
***
Saat matahari mulai bersinar di timur kota Semarang, aku memulai
aktivitas baruku sebagai fresh graduates
yang baru saja diterima bekerja pada salah satu perusahaan swasta di bidang pengelolaan
sumber daya alam Indonesia kantor pusat Jawa Tengah, sebagai bagian keuangan. Setiap
hari, aku selalu melaluinya dengan rute brt terdekat. Sengaja, untuk lebih
menikmati hidup dengan naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.
Aku tengah asyik fokus pada membalas beberapa line grup dari Alumni
kampusku dan juga Satria di halte brt Semarang, dan tak menyadari seorang pria
dengan sepatu Nike Air baru saja duduk di belakangku. Beberapa line yang masuk
sekaligus lebih menyita perhatian.
© RamdaNiam: menunggu brt, eh?
Saat tau siapa yang mengirimkan pesan line, aku mengerutkan kening. Dan
memutuskan untuk tak peduli. Mungkin hanya khayalan. Mood ku sedang bagus hari
ini, dan aku berharap khayalan yang mengundang baper tak merusak mood.
© RamdaNiam: gak mau menoleh kebelakang?
Aku kembali mengerutkan kening. Tanpa menoleh kebelakang.
© RamdaNiam: sepertinya lo memang udah mulai ngelupain gue yah.
Tepat saat aku baru saja akan menoleh kebelakang, suara khas nya
terdengar dari samping, aku diam mematung.
“Lo benar. Karma itu berlaku. Dan gue bener, soal mitos yang pernah gue
bilang, gue pikir kita jodoh.” Ucapnya,
begitu nyata, dan hidup. Aku menoleh. Gayanya masih sama. Potongan rambutnya
juga masih sama. Hanya saja, warna rambutnya lebih gelap dan sengaja diatur
berantakan. Acil tersenyum, “apa kabar, Aida?” ucapnya tulus.
Dan belakangan aku baru tau, seseorang yang menarikku dari hujan dengan
sarung tangan di malam aku berteriak ‘kecoa’
adalah Acil. Dia banyak tertawa saat menceritakan hal tersebut.
Menurutmu, apakah kita berjodoh? Dan biarlah waktu yang menjawabnya…
Yang terpenting, tempat berteduhku saat hujan bulan November sudah
kembali. Aku bahagia.
-END