Aku punya sebait cerita, sebait yang dalam versiku
artinya mungkin beberapa paragraf membosankan.
Maukah kamu membacanya hingga akhir?
Ceritaku di dedikasi untuk kamu yang penasaran
tentang orang-orang yang berkuliah di Kampus Swasta. Orang-orang yang gagal
memasuki Universitas Negeri. Dan orang-orang yang masih menganggap masuk Kampus
Swasta hanyalah jalan akhir agar dapet menempuh pendidikan tinggi.
***
Aku berkuliah di salah satu kampus unggulan swasta terbaik di Jawa Tengah. Kutekankan dengan
tanda kutip,“kampus unggulan.” katanya. Sama seperti kebanyakan orang, waktu
itu aku memang menganggap Universitas Swasta berada jauh dibawah Universitas
Negeri. Tapi, apa realita yang kamu tau sekarang? sudah 2,5 tahun kuberjuang di
kampus yang dulu berada di nomer cadangan.
Lucu, ya.
Saat memasuki semester 6. Kamu bakal sadar soal satu
hal tentang kuliah: belajar pun butuh
sesuatu yang nyata diluar sana.
Bukan soal dimana kampusmu, siapa dosenmu, seberapa
mahal biaya kuliahmu, seberapa kerennya fasilitas kampusmu. Atau apa akreditas
kampusmu.
Best Partner |
Kuliah adalah persoalan yang lebih kompleks. Kuliah
adalah waktu yang tepat untukmu belajar soal hidup, menggali jati dirimu,
mengapai impianmu, dan bersenang-senang tanpa lupa akan tanggung jawab.
Pertama kali diperkenalkan dengan kampus biru, yang
menjadi saksi perjalanan masa remaja menuju dewasaku adalah ayah. Pilihan akhir
untuk anaknya yang gagal diterima oleh Universitas Negeri. Nama kampusnya
sangat asing. Untuk seorang anak yang tinggal bersebrangan dengan Ibukota, dan
harus merantau sejauh 14 jam perjalanan bus. 9 jam perjalanan kereta, atau 1
jam perjalanan pesawat.
Menurutmu, apakah berkuliah swasta sejauh itu
pilihan tepat?
“An, kamu abi daftarin ke Udinus.” Ujarnya, suatu
pagi.
Apa itu UDINUS?
Dimana itu?
Kampusnya bagus?
Aku punya seribu pertanyaan pada hari itu, yang
hanya “oh sudahlah, tahan saja oke.” Karena diam merupakan pilihan yang tepat.
Abi sudah terlalu frustasi dengan kegagalan bertubi-tubi dalam pengumuman
online penerimaan mahasiswa baru.
Guys, kupikir gagal pada saat itu bukan akhir
segalanya. Ketika berkuliah di Udinus. Aku mencoba membuat suatu tujuan, suatu
pencapaian, suatu perubahan.
Kampus ini banyak mengajarkanku tentang artinya
berjuang.
Kampusku cukup unik. Lokasinya yang strategis punya
banyak keuntungan tersendiri. Alasan ayah memasukkanku ke kampus Swata Udinus adalah
soal biaya hidup, soal adaptasiku kelak. Katanya, kalau aku ditempatkan kampus
ibukota, aku gak akan sanggup. Semarang adalah salah satu kota yang cukup
ramah, dengan biaya hidup ideal, dan orang-orang yang juga ramah. Ayahku
memikirkan kemungkinan yang terjadi untuk kedepannya.
Aku gak begitu mengenal lingkungan Jawa Tengah.
Rata-rata temanku bahkan berasal tak jauh dari Kota Semarang. Meski mereka
nge-kost, setidaknya, setiap satu atau dua minggu sekali, mereka akan punya
kesempatan untuk pulang. Sedangkan, aku?
Dari awal, sudah kuyakinkan berkali-kali bahwa masuk
kampus swasta pun punya dampak tersendiri. Mengenai pepatah lama, “Bukan tergantung
dimana kuliahmu. Tapi tergantung bagaimana kamu melewati prosesnya. Bagaimana
caramu belajar selama kuliah. Intinya adalah tergantung dari karaktermu.”
Jika dunia perkuliahan tak membuatmu menjadi seorang
yang tangguh. Jika kampus mu tetap membuatmu mempunyai mental tempe (mental
jelek). Lalu, buat apa? Perlukah kamu bangga?
***
Aku ada banyak cerita tentang Udinus. Kampus berbasis teknologi dan kewirausahaan ini punya banyak program-program mahasiswa yang
menarik. Beasiswa, kesempatan magang, punya banyak kegiatan, punya banyak
event, dll.
Salah satu hal yang perlu kita pertimbangkan adalah
bagaimana cara untuk bisa ikut berpartisipasi di dalamnya. Ketika
ditempatkan di Universitas Negeri, aku berpendapat tak akan punya
kesempatan-kesempatan seperti itu.
Jadi, aku bergabung dengan UKM kampus, organisasi Fakultas
dan mendaftar ke sebuah magang. Aku punya harapan lebih untuk merubah karakter.
Aku yang sekarang tentu saja berbeda dengan aku 2,5 tahun yang lalu. Udinus
benar-benar mengubah banyak hal soal hidup. (Sudah banyak kuceritakan hlo di postingan blog sebelumnya).
Seperti motto kampusku: For A Better Future (Untuk Masa Depan yang Lebih Baik). Maka, dengan memasuki dunia yang lebih menantang, aku mencoba untuk berkembang disana. Ada banyak peluang didepan, dimana pun tempatmu saat ini.
Belakangan ini, aku penasaran soal satu hal tentang kampus. Semua berawal ketika berkunjung ke website kampus. Ada salah satu slogan dengan tata bahasa yang cukup unik:
Dibaca: Dumununging Ingsun Angrakso Nagoro Nuswantoro.
Aku bangga dengan kampusku. Aku bersyukur abi
menempatkanku untuk berkuliah disini, di Udinus. Orang-orang yang banyak bertanya: kenapa
kamu gak kuliah di swasta Bandung aja? Atau gak di Jakarta, lebih deket rumahmu.
Kalau diartikan, semacam suatu slogan yang menyeru
untuk terus ikut dalam pembagunan Bangsa dan Negara. Seperti namanya,
Nuswantoro.
Buktinya, kampus ini terus berkembang. Terus membenahi diri, terus menghasilkan karya-karya dan mahasiswa yang berprestsi diluar sana, terus melakukan kerjasama pendidikan, terus memperbaiki saranan dan prasarananya, dan yang aku sukai... suasananya.
Para alumni, pasti rindu. Tempat ini membuat siapapun nyaman.
Menjadi aktivis disini membuatmu dikenal oleh dosen |
Setiap orang punya alasan kan. Dan alasanku mungkin
sepele pada awalnya. Setelah menjalaninya sendiri, alasan sepele itu membantuku
dalam berkembang.
Untuk mencari ilmu. Jangan pernah merasa kecil.
Jangan pernah juga menyerah. Keberhasilanmu dimasa depan adalah usahamu dimasa sekarang.
Sampai Jumpa. Terima kasih untuk waktumu karena sudah membacanya hingga akhir.
.
.
.
I 💙 UDINUS
.
.
.
I 💙 UDINUS
Salam Kenal.
Seorang Mahasiswa Menjelang Skripsi, Nidake.