Friday, February 5, 2016

CERITA PENDEK


Cerita ini di tulis, saat orang yang nulis lagi bete – kesel – dan kesepian (*eeeeh, engga kesepian ding, peaceee)

Tadinya mau di upload via facebook. Tapi, sangat di sayangkan…
Nida punya blog buat apa, coba? Yaudah dah, upload via blog aja. Sekalian ngasih foto pemerannya kan biar kek di wattpad :p

Hehe, Happy Reading. Semoga gak absurd, geje dan nyambung ceritanya yak *muacccch.
***

“Ngelamun?” ujar seseorang, ia kemudian ikut duduk di samping lawan bicaranya.

“Hmmm…” dengan malas, gadis itu hanya bergumam untuk menangapi pertanyaan terbasi baginya. Cuek, dingin, dan terkesan gak peka, sudah menjadi kebiasaan untuknya belakangan ini.

“Lo kenapa? Cerita dong, ke gue…” ucapnya manis, tangannya mulai penepuk pundak Layla pelan. Memberi ketenangan untuknya, “siapa tau gue bisa ban…”
Refleks, ucapan Farel -cowok terganteng se-jagat raya- (*hueeekkks, ganteng hooh? wkwk) terhenti, ekspresinya aneh, saat tangannya di tepis dengan kasar oleh Layla.

Penolakan.

Gak biasanya, Layla menolak tindakan penenangan yang biasa Farel lakukan padanya. Ini kedua kali, sejak persahabatan mereka 4 tahun yang lalu, saat mereka baru kelas 11.

“Ay, lo kenapa sih?” tanya Farel lembut. Menghadapi cewe seperti Layla emang butuh usaha ekstra, bahkan lebih ekstra daripada meladeni Vania, pacarnya yang baru berusia satu iket jagung (?)

Layla hanya diam, wajahnya menghadap ke area lain, membelakangi Farel.

Dengan kesal campur frustasi, Farel mengacak rambutnya yang emang berantakan, bingung dengan situasinya.

“Ay, ngomong atau gue pergi.” ucapnya, kali ini, tak ada nada kelembutan dalam ucapan Farel.

ting… ting…

Hening.

Farel hanya mendesah pelan, ia akhirnya memilih untuk meninggalkan tempat itu sebelum kekesalannya bertambah dan kesabarannya hilang. Gak. Farel gak mau marah-marah dengan orang yang paling ia sayangi sejak SMA, orang yang sudah ia anggap adik sendiri. Membiarkan Layla merenungkan masalahnya sendiri, mungkin, adalah jalan terbaik buatnya, pikir Farel.

Tapi, ternyata, apa yang Farel kira itu… salah.
Bagi Layla. Tindakan Farel adalah tindakan akhir dari segalanya. Segala suka-duka persahabatan mereka yang akan segera berumur 4 tahun.

Karena, sejak Farel dan Vania pacaran. Layla merasa ada yang berubah. Bukan karena Layla cemburu pada kenyataan Farel menyukai dan mencintai gadis lain, terlebih karena Farel telah melupakan Layla. Seakan dunia Farel hanya untuk Vania. Gak pernah lagi sejak Farel dan Vania pacaran. Mereka melakukan hal-hal konyol berdua, bahkan, Farel tak pernah lagi bisa menemani Layla hanya untuk sekadar makan siang bersama.

Air mata, yang semenjak tadi menjadi pertahanan paling akhir yang bisa Layla tahan, akhirnya… tumpah ruah, membasahi pipinya yang chubby.
Layla menghela nafas penuh dengan perasaan campur aduk setelah puas menangis dan membersihkan air matanya dengan tisu basah, ia bangkit, berjalan pelan menuju tempat kost-nya, dan menutup pintunya rapat-rapat, melanjutkan kegiatan menangisnya yang tertunda.

Di tempat lain, Farel tengah berbahagia dengan Vania. Sesekali mereka saling mencicipi menu makanan yang mereka pesan. Vania dengan riang, bercerita mengenai pengalamannya makan es krim di tempat legendaris ini.

“Jadi, ini tempat favoritmu?” tanya Farel tanpa berhenti menyendok cheesecake pesanananya. Salah satu kue favoritnya dan favorit Layla, jika mereka mengunjungi tempat ini, bersama.

Kenapa Farel malah jadi keinget Layla, ya?

Duh, cewek itu udah pulang belum? Lagi ngapain? Udah makan belum, ya? Apa perlu gue beli kue-kue ini dan es krim untuk Layla? 

Pikiran Farel meracau kemana-mana, dan semua itu menyangkut Layla! Bahkan, Vania yang masih sibuk bercerita panjang kali lebar sama sekali gak dapat respon.

“Sayang, kamu kok ngelamun?” tegur Vania, ia mencubit lengan Farel dengan gemas, “Aku ngomongnya panjang-panjang gak dengerin? Duh… capek deh, ya.” Vania cemberut, pipinya yang tirus -berbeda dengan Layla yang cenderung chubby semakin membuatnya terlihat cantik, bak model.

Jika itu Layla, Farel pasti langsung mencubit pipinya gemas. Tapi, ini Vania, pipinya di cubit gak berdaging, ntar malah kesakitan deh tulang-tulangnya, kan kasian. Akhirnya, yang selalu Farel lakukan, cuman tersenyum penuh kharisma cewek manapun, pasti meleleh dan membalas genggaman tangan Vania di lengannya.

“Aku dengerin, sambil menerawang… jadinya kan ngelamun.” Farel kembali mengumbar senyumnya sejenak, “kamu sih, ceritanya menghayati banget.” Padahal itu bohong. Yaaa, demi kebaikan bersama. Kalo ada yang marah, bisa berabe permasalahannya deh.

Vania semakin mendekatkan dirinya ke arah Farel. Ia ikut tersenyum dengan bahagia.
Mereka akhirnya pulang saat matahari sudah mulai menguning. Gak lupa, Farel membeli beberapa es krim kesukaan Layla dan dua porsi cheesecake sebagai oleh-oleh. Saat Vania tanya itu untuk siapa, Farel cuman bilang, “Buat temen-temen kost, sayang.” gituuu deh.

-bersambung.

Bodo amaaaaattttt!!!!
Mau ceritanya nyambung atau engga.
Bahkan ini lebih mirip ceritanya Dion, sama Aida.
Mboh lah. Nida akhir-akhir ini sukaaaaaa banget sama persahabatan cewek-cowok yang begituan, wkwk (*efek kesepian.)
Lanjutannya ntar yak, kalau mood bete aku menyerang kembali. Soalnya, akhir-akhir ini semakin sibuk. Sibuk liburan yang tertunda, hmffffft. Sedih bet dah. Gagal pulang.
Temen-temen di Serang udah pada bilang, “Bu toyiiiiiib. Neng toyiiiib. Istri toyiiiib.”
Lah, emangnya, aku punya pacar di sana? Weeeek, aku single gini. Pulang-pulang juga pasti ketemu kalian, terooos cuman di tagihin oleh-oleh doang -___-

Oke, bye! See you, kesayangan :*

1 comment:

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.