My Story with you:
In Memory
A Story (Cerpen) by Annida Sholihah
Inspired
by: My Bro
Pesan Singkat/PS:
Dear
Bro~
Maafkan
aku karena cerita ini telat di posting. Aku gak tau banyak hal tentangmu dan
dia –yang saat ini adalah pacarmu- dulu, aku pernah bertanya padamu mengenai
ide cerita ini dan aku terlalu sibuk sehingga sempat melupakannya dan tak
berniat untuk melanjutkan.
Tapi,
aku tak bisa hanya mengatakan janji palsu. Well, tak usah berlama-lama. Karena
aku khawatir kamu akan mengabaikan pesan ini jika terlalu panjang. Selamat
membaca. Cobalah untuk memaklumi cerita ini, jika pada akhirnya menurutmu:
Absurd.
Salam,
@Nida.
***
Untuk segala rasa sakit dan
kehilangan. Untuk perasaan terabaikan dan kesepian. Kisahku adalah kisah klasik dan pasaran. Kisah yang ketika orang-orang mendengarnya, mereka akan
berkomentar, “Aaah. Ini lagi, membosankan.”
Siapa sangka. Aku yang dulunya
juga berpendapat seperti mereka, tiba-tiba merasakan apa yang namanya kisah klasik dan pasaran itu. Apakah ini karma?
Umurku 16 tahun. Saat itulah, aku
bertemu dengan cinta pertamaku. Cinta pertama orang-orang indah dan ingin
dikenang, lalu bagaimana dengan cinta pertamaku?
Dia pria yang baik, hangat dan
selalu tersenyum. Kadang-kadang, sikapnya yang dingin membuatku merasa bosan.
Tapi, aku tak pernah membencinya. Bukan marah, benci dan semacamnya. Tapi
perasaan itu adalah perasaan yang membuatku selalu merasa khawatir dengannya.
Pada suatu waktu, sepulang dari
kelas les piano. Kita berdua bertemu, dan apa yang ia ucapkan begitu
mengejutkan.
Semuanya berakhir. Semua yang aku
perjuangankan selama ini. Semua yang aku percayai selama ini. Aku gak pernah
mengerti, bahkan sampai sekarang. Ketika aku 19 tahun. Aku sudah menyiksa
diriku sendiri selama sisa waktu itu. Tuhan gak peduli dengan apa yang aku
rasakan. Aku masih bernafas, sayangnya, dengan keyakinan yang berbeda.
Apakah aku bisa membuatnya
mempercayai kembali? Tentang cinta...?
Karena akulah yang sebenarnya, pemeran
antagonis di dalam cerita ini.
Ttd,
Sintya.
***
[DION POV – Sudut pandang Dion]
Semarang, Januari 2014.
Seorang gadis dengan kacamata minus dan kawat gigi
warna senada menarik-narik tas ransel Exsport
keluaran terbaru milikku. Gadis itu tampak agresif, ooh... tidak. Lebih
tepatnya, terlalu periang. Aida. Nama yang indah. Ia sepupuku, sekaligus teman
masa kecilku.
“Ya Ampun. Aida!” aku mendesah frustasi. Masalahnya,
ia sudah beberapa kali memaksaku untuk mendengarkan ceritanya yang tak masuk
akal. Hampir sepanjang hari.
“Eh kau!!! Saya kan sudah bilang, dengerin dulu...”
“Maaf, tapi aku ada rapat.” Aku menyela, lagi. Dan
segera berlari menjauhinya. Bisa kudengar hembusan nafas kesal Aida di
belakangku.
“Kamu akan menyesal setelahnya, Dion!” Teriak Aida.
Setelah teriakannya yang entah keberapa kali, sejak
aku dan dia kuliah di Universitas yang sama. Aku menoleh, Aida sudah tampak
jauh. Rupanya, dia berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Syukurlah.
***
[AIDA POV – Sudut pandang Aida]
Aku memutuskan untuk tidak mengejar Dion. Toh,
berapapun usahaku untuk menyakinkan dia agar mendengarkan cerita ini. Dion
terlalu keras kepala dan jelas-jelas tak akan mengikuti saranku.
“Dasar cowok. Setidaknya, dengarkanlah...” Umpatku
kesal. Sedetik kemudian, air mataku tumpah begitu saja. Jujur, aku bukan gadis
lemah seperti ini.
Ingatanku kembali ke pertemuan 2 hari yang lalu,
saat itu aku bertemu dengan... Laksintya. Dan dia adalah orang yang Dion
cintai. Orang yang Dion lukai. Dan orang yang Dion tinggalkan 2 tahun yang
lalu.
Flashback, 2
hari yang lalu.
Aku bertemu dengannya secara tak sengaja. Saat itu,
Sintya sedang memberikan beberapa dokumen di pusat informasi Universitas.
“Sintya...?”
Gadis berambut sebahu itu menoleh kepadaku, aku bisa
melihatnya bahwa dia gugup. Dan yeah~ ia sekarang, menggunakan kacamata.
“Ehhh... Kamu?”
“Uh, sudah lama... Apa kabarmu?” Tanpa rasa malu,
aku menjabat tangannya, rasanya hangat. Tak mungkin aku memeluknya, itu karena
aku merindukannya sekaligus aku tak seberani itu.
“Ya... Aku baik saja, kok. Bagaimana denganmu?”
Kita berbasa-basi banyak hal selama itu. Sampai pada
akhirnya, aku menyingung topik yang
tak seharusnya. Aku pasti akan menyesal, nanti.
“Uh, ngomong-ngomong... Sudah lama tak berkomunikasi
dengan Dion? Dia tampaknya... Er, jadi pendiam.” Sekilas, aku melihat ekspresi
itu (lagi) Ekspresi kebingungan dan gugup.
“Aida...”
“Sin, jujur saja. Aku juga kecewa dengannya. Tapi,
aku lebih kecewa denganmu. Kamu tau? Aku membaca note di HP Dion, dan apa yang
dia tulis. Mengejutkan.”
“Memangnya, apa yang Dion tulis?”
“Dia bilang, kaulah yang minta putus!” Aku berdiri,
bingung dengan pengakuan tiba-tiba barusan, kerudung segitiga yang kukenakan
jadi berantakan karena keringat.
“Aida...”
Bisa kurasakan tangan Laksintya menggengam tanganku,
sangat erat, terlalu erat malahan. Dan saat aku menoleh, pipinya yang chubby sudah basah oleh air mata.
“Maafin aku... aku... aku gak bisa, Ai.”
Aku tetap diam menunggu penjelasannya. Tapi, ia tak
juga berbicara.
“Hah, Sint. Apa maksud kamu, tak bisa...? Tak bisa
apaan?” Aku mulai kesal, dengan sisa kesabaran. Sebagai sahabat yang baik
untuknya, sekaligus sepupu Dion. Aku mencoba untuk diam. Menunggunya berhenti
menangis.
“Saat itu aku harus study ke Amerika.” Ujarnya
datar.
Aku masih diam, aku sudah tau tentang study-nya yang
ke Amerika. Lagi-lagi itu karena aku membaca note di HP Dion. Kalau aku
ketahuan, bahwa aku mengurusi urusannya dan bahkan nekat membaca notenya hingga
salah password beberapa kali, bisa-bisa Dion akan membakarku hidup-hidup.
Jadi, aku menunggu apa yang akan Laksintya katakan
kemudian.
“Aku tak mengatakan ini pada Dion.” Lanjutnya.
“Ya aku tau. Begitu juga Dion.” Aku menangapi hal
tersebut dengan sama datarnya.
Sintya menatapku dengan pandangan tak percaya. Tapi
kemudian, tangisnya semakin kencang. Untung saja, tempat itu sepi. Aku akan
terlihat seperti orang jahat di sinetron murahan.
“Sint...”
“Aku akan mati, Ai. Gak lama lagi.”
Deg.
Aku terdiam, cukup lama hingga bisa mengartikan apa
yang ia katakan. Kuharap, aku hanya salah dengar. Kuharap.
“Huh...?
“Aku sakit. Maag kronis. Dan itu semakin parah dalam 2 tahun ini.” Ujarnya pelan, hampir tak terdengar.
“Aku sakit. Maag kronis. Dan itu semakin parah dalam 2 tahun ini.” Ujarnya pelan, hampir tak terdengar.
Flasback End.
Aku menghela nafas frustasi. Tuhan... ini tampaknya
terlalu... Jahat. Ya. Ini gak adil, untuk Dion. Dan Sintya. Mungkin.
***
Saat aku bertemu dengannya sore
itu. Aku mengatakan yang sebenarnya, kubilang, bahwa aku sakit dan kukatakan
bahwa aku akan mati. Seperti dugaanku, ia marah dan pergi begitu saja.
Tapi, belakangan. Ia
menghubungiku kembali dan memintaku mencoba menyakinkan bahwa semua yang aku
katakan itu gak nyata. Sayangnya, itu semua nyata.
Maafin aku. Aku bisa apa? Karena
ini adalah takdirku. Dan satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk laki-laki
itu adalah... pergi sejauh mungkin. Sebelum ia benar-benar jatuh cinta padaku.
Dan aku salah. Ya. Aku salah.
Dia bilang: Mantanmu itu semakin
pendiam dan bertambah menakutkan di hadapan perempuan.
Dia bilang seperti itu.
Aku bahkan menahan diri, untuk
bertanya lebih jauh. Apakah, yang aku lakukan sudah benar atau belum?
Ttd,
Sintya.
***
[DION POV –Sudut pandang Dion]
Aku mengingat semua percakapanku dengan Aida yang
baru saja terjadi.
Sudah 2 tahun berlalu... tanpa sadar, aku berjalan
ke tempat dimana untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan... Laksintya.
Saat itu, aku sedang latihan band, sedangkan dia
pergi kesana untuk les piano.
Ia tampaknya gadis yang baik. Dengan keluarga berada
dan ayah-ibu yang harmonis. Ia berbeda denganku, sangat berbeda. Sejak awal,
mungkin... aku sudah tertarik. Secara tak sadar.
Kenangan itu muncul kembali...
Saat dengan senyumnya yang malu-malu, ia menyapaku.
Saat dengan polosnya, ia bertanya padaku, apakah aku
pernah pacaran.
Atau, saat ia bermain piano untukku.
Aku merindukan semua itu...
Aku bahkan, merindukan tulisan diary-nya. Yang mana
dia selalu menuliskan kisah tentangnya dan tentangku. Penuh, hanya tentang kita
berdua.
Kata-kata Aida kembali tergiang di kepalaku, “Karena
Sintya Sakit. Sakit parah...”
Kakiku lemas saat itu, dan aku terduduk.
Aku tak bisa berfikiran jernih. Aku tak bisa
kembali. Atau jikalau aku ingin, aku tak bisa...
***
NB: Lanjutin ke part-2 ya... Komentar dong. Absurd gak, sejauh ini? XD
Bagus nidaaa, lanjutin part 2 yaa ;D
ReplyDeletePart 2-nya sudaaah ada beb :D Sudah baca?
ReplyDeleteAaaah~ makasih ({}) hihiii