Thursday, July 10, 2014

[CERPEN] In Memory... Part 2


[ PART 2] SELAMAT MEMBACA... Jangan Bosen, yakkk XD

[AUTHOR POV –Sudut pandang Penulis]
6 Bulan Kemudian.

Seperti tak pernah terjadi apapun. Dion telah menjadi Dion yang dulu. Begitu pula Aida. Mereka menjalani kehidupan kampus masing-masing, seperti biasanya.
Dan untuk Laksintya... Tak pernah ada yang tau cara untuk menghubunginya.
6 bulan yang lalu. Setelah Dion pergi ke tempat dimana pertemuan pertamanya –tempat latihan musik itu- Ia mencari Sintya hingga ke rumah ibunya yang lama. Nihil! Mereka bilang, Laksintya telah pindah ke Rumania – Bucharests, malam sebelumnya. Dan harapan Dion untuk memperbaiki hubungan itu... Telah Dion putuskan.

Hubungan Dion dan Aida juga mulai renggang. Dion yang semakin sibuk, atau Aida yang memang tak lagi punya alasan untuk terus bertemu dengannya.
Biasanya, mereka akan bertemu minimal 3 kali dalam seminggu –hanya untuk mengeluh dan membicarakan masalah mereka satu-per satu-
Saat ini... mereka hanya –kadang- bertemu secara tak sengaja. Baik itu di kantin ataupun di koridor kampus, dan hanya saling tersenyum dalam diam. Tanpa sapaan.

Sore itu... Dengan langkah dan obrolan ringan bersama temannya, Dion berjalan melewati mading fakultas Fisipol setelah kelas pratikum. Ada beberapa koridor yang searah menuju gerbang utama yang menghubungkan antara fakultas Musik dan fakultas Fisipol. Dari kejauhan, Dion dapat melihat Aida yang tengah duduk sendirian. Dengan blazer putih-hitam khasnya.
“Sendirian?” Sapa Dion.
Tak ada jawaban.
“Hujan akan reda, sebentar lagi.” Lanjutnya, memecah keheningan.
Aida tetap diam. Ia... terlihat, tidak punya semangat.
“Huh... Kamu jadi ngebosenin akhir-akhir ini. Lagi pula, apa salahku? Aku sudah...”
“Jangan berbicara denganku.” Potong Aida. Ia berdiri, tangannya yang pendek mulai terulur pada tetesan air hujan, yang mulai turun beberapa menit lalu.
***
[AIDA POV – Sudut pandang Aida]
Aku bisa merasakan langkah Dion yang mendekat. Seperti yang kukira, dia pasti akan duduk di sampingku. Jujur saja, aku sedang dalam mood yang buruk.
“Hujan sialan.” Desisku, pelan.

“Sendirian?” Suara Dion mulai terdengar. Aku bergeser, dan berusaha untuk tidak terpancing dengan basa-basinya yang... yah~ membosankan.
Tindakan spontan. Aku mengulurkan tangan menuju rintik-rintik air hujan. Kegiatan favoritku dalam proses menunggu hujan reda. Dion masih duduk di tempat yang sama –seakan sedang berbicara sendiri-
 Bisa kurasakan, ia memperhatikan caraku dengan tatapan aneh.
“Ada surat yang datang minggu lalu... Untukmu.” Ucap Dion kemudian.
Aku tertarik. Dan aku mulai menoleh padanya, penuh dengan kilatan rasa penasaran.
“Dari Laksintya.” Aku tetap memperhatikan Dion, ia mengeluarkan sebuah pos-id yang masih tertutup erat. Tanda bahwa, sama sekali belum ada yang membukanya.
Di bagian depan. Ada tulisan tangan indah, dan namaku. Juga alamatnya dan alamatku.
Dari situ, aku tau bahwa surat dikirim melalui jasa khusus. Surat ini ditulis, 5 bulan yang lalu dan akan sampai tepat pada seminggu yang lalu, bulan ini. 

Rumania. February 2014.
To: Aida Sabila.
From: Laksintya.

Aku masih menatap Dion penuh dengan tanda tanya. Dion mengangkat bahu, tersenyum tipis.
“Surat itu hanya buatmu. Ambil dan bacalah.” Dion bangkit. Berjalan menjauh, sebelum aku mulai menyadari apa arti ucapannya barusan.
“Dion...!!! Untukku?” Teriakku setengah bingung, setengah penasaran. Harusnya Sintya mengirim surat ini untuk Dion!
“Ya. Dia hanya mengirim itu atas namamu. Jangan khawatir, aku belum membacanya.”
Teriak Dion kemudian.
Aku masih menatap punggungnya yang semakin menjauh dan hilang di belokan pertama pintu keluar fakultas. Dan pandanganku beralih pada pos-it itu.
_ _ _
Dear~ Aida.
Saat kamu membaca suratku. Aku yakin. Aku sudah tak lagi bernafas di dunia ini.
Tentang pertemuan terakhir kita... Maafkan aku.
Juga tentang harapanmu.

Aida... Aku tau, kamu mencoba memperbaiki hubunganku dengan Dion.
Aku tau, kamu hanya ingin melakukan yang terbaik.
Ketahuilah. Keputusan ini adalah keputusan yang terbaik buatku dan dia.

Terakhir dan untuk yang kesekian kalinya, aku merasa malu harus meminta sesuatu padamu sehingga harus mengirim surat ini.

Aku ingin mengucapkan terima kasih dan maaf.
Kamu adalah... Sahabat terbaik yang pernah Tuhan pertemukan untukku.
Dan Dion adalah, laki-laki terhebat yang pernah aku kenal. Dan aku cintai.

Aida... Bantu aku, untuk menolongnya menemukan perempuan lain yang lebih baik dariku.
Kamu pasti bisa. Karena kamu punya hati yang tulus dan murni.

Dan aku berdoa untukmu. Kamu akan hidup bahagia. Menemukan cinta sejati. Dan berbuat baik, seperti yang kamu impikan.

Aku harap, jika ada kehidupan selanjutnya. Tuhan mau memberiku kesempatan untuk hidup lebih lama di dunia. Atau mungkin, setidaknya... di kehidupan lain, aku ingin bertemu denganmu dan Dion...

Salam,
Laksintya
_  _ _

Aku mulai menangis. Aku selalu egois dan menganggap bahwa semua itu salah mereka. Saat Dion dan Laksintya memutuskan untuk putus dan mengakhiri hubungan. Setelah melihat Dion yang berubah dratis karenanya, setelah mengetahui Laksintya yang memintanya agar putus dengan cara meninggalkan Dion, setelah semua kejadian yang membuatku lelah. Kupikir, ini salahnya. Salah dia. Laksintya.

Aku sudah membenci Laksintya selama 3 tahun. Ya. 3 tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan 6 bulan lalu, saat aku mengetahui bahwa... Laksintya sakit... Semua itu, agak~ aneh.
***
[DION POV –Sudut pandang Dion]

Aku mengecek ponsel kesayangan sejak zaman SMA, Nokia Lumia. Dan mendapati ada beberapa pesan masuk. Salah satunya, dari Aida.
Belakangan. Sejak kesalahan-pahaman antara aku dan dia mengenai Laksintya. Hubungan kami sebagai orang-yang-saling-bergantung itu menjadi renggang.
Dan aku ingin sekali menjelaskan masalah ini padanya, atau setidaknya membuatnya untuk mengerti. Tapi, tidak...Tidak bisa.

Sayangnya, karena dia juga mengenal Laksintya... Aku juga menyesal, menyeret Aida dalam masalah ini.

Temui aku di McDonald. Pukul: 17.00wib. Setelah kelas terakhir.

Ini sudah pukul 17.05 wib. Aku berlari menuju sepeda motorku dan membawanya ke arah McDonald.
Aida sudah berada di bangku yang sama setiap ia makan di tempat ini. Ekspresinya tampak bosan.
“Maaf... telat.” Aku duduk di seberang kursi tempatnya duduk. Ia menatapku sambil tersenyum dan mulai menjitak kepalaku~ uuuuh... pelan, tapi sakit.
Aku mengaduh dan membalasnya. “Tak kena!!!!” Ucapnya manis, disertai dengan juluran lidahnya. Memalukan :3
“Apa-apaan, ini?”
“Hukuman!!! Telat 15 menit.” Jawab Aida tanpa rasa bersalah. Aku masih mengaduh dan mengusap dahiku, pelan.
“Jadi, sudah baikan? Lama sekali rasanya...” Aku mulai menghitung jari dan berhenti pada jari yang ke-6.
“Oh~” ____ “Maafin aku soal kesalahan pahaman ini. Aku gak marah kok, aku cuman lelah sama urusanmu.” Ucapnya blak-blak-an. Sangat polos! Sejak TK, anak ini gak pernah berubah. Terlalu polos...
Aku tersenyum, mengacak kerudung pasminanya hingga berantakan. Dan tertawa puas. Dan terus menatapnya yang tengah cemberut.
“Ihhh~ edan luh bro. Ini rusak tau!” Protes Aida dengan nada kesel.
“Ya. Maap. Siapa suruh marahan selama itu. Kan ane bosen~” Aku menyerigai.

Dan sepanjang hari itu... Di McDonald. Kami tak membahas masalah utama yang membuat kami jadi salah paham. Tentang Laksintya. Kupikir, biarkan yang tadi jadi momment untuk berbaikan dengannya. Aku rindu, bersikap jahil padanya. Karena hanya dialah, yang tak pernah marah jika aku lakukan hal tadi. Sangat lucu.
***
[AIDA POV – Sudut pandang Aida]

Setelah cukup puas mengenyangkan diri dan saling bercandaan layaknya anak TK –kebiasaan kita- Aku dan Dion berjalan pulang bersama. Dengan mengendarai motornya, tentu saja.
Sebelum berpisah. Aku ingin tau satu hal. Dan dengan gugup, berharap Dion tak akan marah kembali. Aku memberanikan diri bertanya.
“Apa yang terjadi, antara kamu dan Laksintya?” Tanyaku hati-hati.
Dion menoleh, ekspresinya kaku. Tapi, syukurlah... ia kemudian tersenyum beberapa detik kemudian.
“Kita putus dengan baik, mengakhiri semua ini dengan baik.” Dion menghela nafas panjang, sebelum mulai melanjutkan, “Aku berbicara dengannya malam sebelum dia pergi ke AS dan aku menghubunginya malam sebelum dia pergi ke Bucharest. Kita saling minta maaf dan dia bilang... Dia ingin mangatakan sesuatu. Bahwa dia bersyukur bertemu denganku.” ____ “Aku dan Sintya tidak pernah di takdirkan untuk bersama sampai akhir. Kamu pasti akan mengerti suatu hari nanti. Seperti yang pernah kamu katakan dalam jurnalmu: Bahwa cinta itu gak harus memiliki. Kupikir, kamu benar. Dan aku berani bertaruh, kamu gak mengerti keseluruhan arti kalimat itu, ya kan?” Jelas Dion panjang lebar dan berakhir dengan pertanyaan. Aku mengangguk. Malu.
Ia menepuk pundakku pelan. “Makasih buat semuanya. Kamu sahabat terbaik buatku. Dan aku juga minta maaf karena ngebuat kamu salah paham. Aku janji, buat lebih jujur lagi dimasa depan ke kamu.”

Aku melongo. Dan Dion tersenyum penuh dengan... Gaya. 
Sangat norak >,<

“Sekarang, masuklah. Sebelum kamu kena omelan ibu kost lagi. Sana hussss~” Belum sempat aku menerjemahkan arti senyuman ‘sok’ itu... Dion sudah mendorongku masuk ke pintu asrama putri.

Saat aku tersadar, aku mulai tersenyum penuh arti.
***
PROLOG.

[AUTHOR POV –Sudut pandang penulis]

Kadang, mencintai bukan berarti memiliki.
Kadang, suatu cerita bukan berarti selalu berakhir bahagia.
Kadang, sesuatu bisa hilang dan pergi.
Sejak terakhir kalinya Dion berbicara dengan Laksintya. Dia sudah memutuskan bahwa... Ia perlu keikhlasan. Untuk merelakannya pergi.

Dan ya. Laksintya memang sudah tidak lagi hidup di dunia ini. Tuhan sudah mengambil nyawanya. Tapi, dia hidup di hati dua orang yang pernah mengenalnya dengan baik. Dua orang yang mencintainya, sebagai sahabat ataupun sebagai perempuan.
Dion dan Aida. Dua orang yang di tinggalkan itu...

Dion belajar arti mencintai darinya. 
Aida belajar arti ketulusan darinya 
dan Laksintya, belajar arti hidup dari Dion maupun Aida.

Hidup adalah...
“Tentang menghargai seberapa waktu yang kamu punya itu...” Ucap Aida dalam hati.
“Dan tentang belajar, memiliki impian dan membuat kenangan yang indah dengan baik...” Sambung Dion.

Mereka berdua menoleh, sebelum benar-benar menutup pintu gerbang asrama masing-masing. Senyuman singkat terbesit di bibir mereka.

“Selamat jalan Laksintya. Berbahagialah di Surga. Kita pasti akan merindukanmu...” 

 -          THE END 

***
Gimana ceritanya? Absurd...? Bisa jadi... 
HA! Aku mengerjakan ini dalam 2 hari, men! Yak. 2 hari >,< 
Dan ini adalah Cerpen kesekian kalinya yang aku buat, setelah UN. Uh~ jarang-jarang aku menulis Cerpen.

Itu semua demi janji aku, ceritanya panjang deh. Dan belakangan, sewaktu aku buka pesan lama di HP. Masih ada pesan aku dan si bro tentang obrolan ide cerita ini.

Dan waktu aku tanyain di message, eeeehhh~ katanya: Lupa. Dan lupakan! gitu deh.
Mubazir kalau aku gak posting. Yasudah deh. Posting!

Sejujurnya, aku gak tau Ending dari cerita ini. Dan bahkan, aku kebingungan mau dibawa kemana ceritanya. Ujung-ujungnya... Tokoh utama dalam cerita adalah si Aida. Bukan Laksintya.

Laksintya memang sumber dari cerita. Tapi, sayangnya dia bukan tokoh utama. Tadinya, mau aku buat sebagai tokoh utama. Tapi, malah jadi lebih ngawur. Yaudah deh... beginilah jadinya. Hahah

Ngomong-ngomong, biar semakin komplit. Aku bersedia ngasih beberapa cartoon: Dion, Aida dan Laksintya sebagai gambaran nih. 

Semoga aja... kalian suka XD

Dion
Aida Sabila       



Laksintya

No comments:

Post a Comment

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.