Assalamualaikum. wr, wb.
Dear, umi, abi.
Mamah, papah. Bunda, ayah. Ibu, abah. Mamih, papih. Dan untuk semua orangtua di
seluruh Dunia. Untuk semua ibu dari anak-anak luar biasa, untuk semua ayah yang
ikut berjuang demi membuat impian anak-anaknya tercapai.
Maaf, ya…
Seringkali, kita
selalu nyakitin hati kalian.
Sering… kita
melakukan hal-hal konyol, dan gak pernah memperhatikan perasaan kalian.
Inget gak,
umi, abi?
Waktu aku
marah-marah dengan penuh emosi, dan mengatakan hal-hal ‘kurang ajar’ yang harusnya bisa aku simpan sendiri. Yang gak
seharusnya aku lontarkan di depan kalian. Ibu yang sudah mengandungku selama 9
bulan, merawatku sewaktu bayi hingga sekarang. Ayah yang sudah banting tulang
mencari nafkah untuk kehidupan kita, tanpa kenal lelah.
Detik itu
juga, sebenarnya… aku khilaf. Sayangnya, gengsi dan ego membuatku urung
mengatakan kata, “Maaf, maafin aku… Aku tadi emosi.” Atau bahkan, sekadar
mengatakan satu huruf, ‘maaf’ saja,
aku terlalu malu. Seakan-akan, semuanya tercekat di dalam kerongkonganku.
Abi, Umi… untuk
yang satu ini. Maukah kau memaafkanku? Walaupun aku juga gak berjanji, untuk
tak mengulanginya di kemudian hari.
---
Ingat gak?
Waktu aku
nyuekin umi dan abi, waktu aku dengan kurang ajarnya kabur dari rumah. Waktu aku,
dengan gak tau malunya teriak-teriak kesetanan. Waktu itu, umi pernah menampar
mulutku. Aku sempat shock. Tapi,
kemudian… sebenarnya, aku sadar diri. Hanya saja, sebagian dari diriku masih merasa
marah atas perlakuan menjijikan yang baru pertama kalinya aku dapatkan.
Aku ingin
menangis. Aku ingin sekali berteriak. Tapi, pada akhirnya, aku hanya bisa…
diam.
Dan kalian
juga diam. Bukan satu jam – dua jam. Tapi lebih dari 3 hari! Bayangkan. Betapa,
tersiksanya aku.
Dan
lagi-lagi, aku harus kuat. Harus.
Mi, saat aku
merenung hari itu. Ada satu hal yang aku sadari, bahwa memang akulah disini
yang ‘tersangka.’ tapi, bukan berarti
dirimu tak pernah salah.
Aku sempat
berharap, kamu akan berbicara baik-baik padaku pada saat emosi kita berdua
sudah mereda, dan mengajakku berdamai duluan. Karena, itu bisa jadi awal yang
baik untukku. Untuk memberiku kekuatan di masa depan, siapa tau aku khilaf lagi…
dan aku bisa mempunyai keberanian untuk mengatakan ‘maaf’ duluan. Nanti.
Tapi, umi
bahkan gak melakukan itu. Dan saat ini, saat aku sudah dewasa… baru ku ingat.
Betapa kecewanya diriku. Betapa aku benar-benar membenci caramu, mi.
---
Aku payah ya.
Aku bahkan berani mengatakan hal buruk ini. Aib ini.
Hanya, ketika
umi atau abi membacanya. Bisakan Allah.swt memberi mukjizat?
Aku tau kok,
gak ada yang namanya keluarga yang sempurna, karena masing-masing dari diri
kita memang gak sempurna.
Aku takut.
Takut banget. Karena, adik-adikku akan melewati masa yang sama denganku dulu. Masa
dimana aku masih terlalu polos untuk membedakan mana yang emosi sesaat dan mana
yang seharusnya bisa aku kendalikan.
Tentu, mereka
akan menghadapimu dengan cara mereka sendiri. Lagi, kuharap, mereka berdua akan
sadar untuk tidak tersesat terlalu jauh, karena aku terlalu takut jika mereka
berniat menciptakan bom dalam hubungannya denganmu.
Aku cuman
pengen keajaiban mi. Kejaiban itu adalah… umi dan abi bisa mengubah cara untuk
mendidik kami. Untukku dan adik-adikku.
Karena,
setelah ini. Betapa aku sadar. Dulu, caramu yang salah dalam mengajarkanku akan
‘sikap’ adalah amunisi yang aku
gunakan untuk membantah. Aku menyesal. Karenanya, aku harus menanggung dosa
lebih banyak.
Abi, umi. Ada
saat dimana, anak-anak mu akan melewati fase remaja, dengan lonjakan emosi yang
meluap-luap, ada masa dimana anak-anak mu akan menjadi dewasa, dan mengerti
akan pengorbanan kalian. Ada saatnya itu…
Dan aku,
menulis ini bukan untuk menasehati umi dan abi. Bukan pula sebuah kritikan. Ini
hanyalah isi hati anak gadis yang penuh luka, yang kesepian, yang butuh kasih
sayang, yang butuh tempat naungan atas ide-ide gilanya, yang butuh wadah untuk
curahan hati dan air mata, yang butuh pelukan hangat dari orang tuanya.
Yang ia
inginkan. Hanya ketulusan. Aku butuh pelukan hangat, yang kau berikan dengan
cinta dan ketulusan.
Kadang, aku
terlalu sayang sama umi dan abi. Aku terlalu sayang, sampai rasanya, aku gak
bisa lari dari realita yang sekarang.
Jujur, aku
ingin pergi yang jauh. Aku gak ingin belajar ke perguruan tinggi. Aku ingin
melakukan apa yang aku mau. Dan demi kalian, aku mengubur semua hal-hal gila
itu. Demi kalian, aku menutup kembali amunisi berbahayaku. Demi kalian, umi,
abi…
Dear umi,
abi.
Makasih
banyak atas semua jasa kalian selama ini. Mendidikku dengan caramu –yang menurutku
salah- tak pernah aku menyesal lahir dari rahimmu, umi.
Dan mempunyai
ayah, yang sulit ku pahami, sepertimu, abi.
Makasih
banyak atas semua maaf yang telah kalian relakan untukku,. Untuk setiap
kesalahan, entah, seberapa banyak kesalahan itu di masa lalu.
Semoga,
Allah.swt semakin membukakan pintu hatiku. Dan menyadarkanku, betapa
berharganya semua itu. AKU. SAYANG. KALIAN.
Sungguh :’)
Kami. Keluarga kecil, yang bahagia ({}) |
Love Always.
Anak gadismu,
© Nida
Serang,
09 February 2015
No comments:
Post a Comment
Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.
- Kutunggu komentarmu.