Monday, February 9, 2015

MEMBANTAH


 
Assalamualaikum. wr, wb. 

Dear, umi, abi. Mamah, papah. Bunda, ayah. Ibu, abah. Mamih, papih. Dan untuk semua orangtua di seluruh Dunia. Untuk semua ibu dari anak-anak luar biasa, untuk semua ayah yang ikut berjuang demi membuat impian anak-anaknya tercapai.

Maaf, ya…
Seringkali, kita selalu nyakitin hati kalian.
Sering… kita melakukan hal-hal konyol, dan gak pernah memperhatikan perasaan kalian.

Inget gak, umi, abi?
Waktu aku marah-marah dengan penuh emosi, dan mengatakan hal-hal ‘kurang ajar’ yang harusnya bisa aku simpan sendiri. Yang gak seharusnya aku lontarkan di depan kalian. Ibu yang sudah mengandungku selama 9 bulan, merawatku sewaktu bayi hingga sekarang. Ayah yang sudah banting tulang mencari nafkah untuk kehidupan kita, tanpa kenal lelah.

Detik itu juga, sebenarnya… aku khilaf. Sayangnya, gengsi dan ego membuatku urung mengatakan kata, “Maaf, maafin aku… Aku tadi emosi.” Atau bahkan, sekadar mengatakan satu huruf, ‘maaf’ saja, aku terlalu malu. Seakan-akan, semuanya tercekat di dalam kerongkonganku.
Abi, Umi… untuk yang satu ini. Maukah kau memaafkanku? Walaupun aku juga gak berjanji, untuk tak mengulanginya di kemudian hari.

---
Ingat gak?
Waktu aku nyuekin umi dan abi, waktu aku dengan kurang ajarnya kabur dari rumah. Waktu aku, dengan gak tau malunya teriak-teriak kesetanan. Waktu itu, umi pernah menampar mulutku. Aku sempat shock. Tapi, kemudian… sebenarnya, aku sadar diri. Hanya saja, sebagian dari diriku masih merasa marah atas perlakuan menjijikan yang baru pertama kalinya aku dapatkan.

Aku ingin menangis. Aku ingin sekali berteriak. Tapi, pada akhirnya, aku hanya bisa… diam.
Dan kalian juga diam. Bukan satu jam – dua jam. Tapi lebih dari 3 hari! Bayangkan. Betapa, tersiksanya aku.

Dan lagi-lagi, aku harus kuat. Harus.
Mi, saat aku merenung hari itu. Ada satu hal yang aku sadari, bahwa memang akulah disini yang ‘tersangka.’ tapi, bukan berarti dirimu tak pernah salah.

Aku sempat berharap, kamu akan berbicara baik-baik padaku pada saat emosi kita berdua sudah mereda, dan mengajakku berdamai duluan. Karena, itu bisa jadi awal yang baik untukku. Untuk memberiku kekuatan di masa depan, siapa tau aku khilaf lagi… dan aku bisa mempunyai keberanian untuk mengatakan ‘maaf’ duluan. Nanti.

Tapi, umi bahkan gak melakukan itu. Dan saat ini, saat aku sudah dewasa… baru ku ingat. Betapa kecewanya diriku. Betapa aku benar-benar membenci caramu, mi.
---
Aku payah ya. Aku bahkan berani mengatakan hal buruk ini. Aib ini.
Hanya, ketika umi atau abi membacanya. Bisakan Allah.swt memberi mukjizat?

Aku tau kok, gak ada yang namanya keluarga yang sempurna, karena masing-masing dari diri kita memang gak sempurna.

Aku takut. Takut banget. Karena, adik-adikku akan melewati masa yang sama denganku dulu. Masa dimana aku masih terlalu polos untuk membedakan mana yang emosi sesaat dan mana yang seharusnya bisa aku kendalikan.
Tentu, mereka akan menghadapimu dengan cara mereka sendiri. Lagi, kuharap, mereka berdua akan sadar untuk tidak tersesat terlalu jauh, karena aku terlalu takut jika mereka berniat menciptakan bom dalam hubungannya denganmu.

Aku cuman pengen keajaiban mi. Kejaiban itu adalah… umi dan abi bisa mengubah cara untuk mendidik kami. Untukku dan adik-adikku.

Karena, setelah ini. Betapa aku sadar. Dulu, caramu yang salah dalam mengajarkanku akan ‘sikap’ adalah amunisi yang aku gunakan untuk membantah. Aku menyesal. Karenanya, aku harus menanggung dosa lebih banyak.

Abi, umi. Ada saat dimana, anak-anak mu akan melewati fase remaja, dengan lonjakan emosi yang meluap-luap, ada masa dimana anak-anak mu akan menjadi dewasa, dan mengerti akan pengorbanan kalian. Ada saatnya itu…

Dan aku, menulis ini bukan untuk menasehati umi dan abi. Bukan pula sebuah kritikan. Ini hanyalah isi hati anak gadis yang penuh luka, yang kesepian, yang butuh kasih sayang, yang butuh tempat naungan atas ide-ide gilanya, yang butuh wadah untuk curahan hati dan air mata, yang butuh pelukan hangat dari orang tuanya.

Yang ia inginkan. Hanya ketulusan. Aku butuh pelukan hangat, yang kau berikan dengan cinta dan ketulusan.

Kadang, aku terlalu sayang sama umi dan abi. Aku terlalu sayang, sampai rasanya, aku gak bisa lari dari realita yang sekarang.

Jujur, aku ingin pergi yang jauh. Aku gak ingin belajar ke perguruan tinggi. Aku ingin melakukan apa yang aku mau. Dan demi kalian, aku mengubur semua hal-hal gila itu. Demi kalian, aku menutup kembali amunisi berbahayaku. Demi kalian, umi, abi…

Dear umi, abi.
Makasih banyak atas semua jasa kalian selama ini. Mendidikku dengan caramu –yang menurutku salah- tak pernah aku menyesal lahir dari rahimmu, umi.
Dan mempunyai ayah, yang sulit ku pahami, sepertimu, abi.
Makasih banyak atas semua maaf yang telah kalian relakan untukku,. Untuk setiap kesalahan, entah, seberapa banyak kesalahan itu di masa lalu.

Semoga, Allah.swt semakin membukakan pintu hatiku. Dan menyadarkanku, betapa berharganya semua itu. AKU. SAYANG. KALIAN.
Sungguh :’)

Kami. Keluarga kecil, yang bahagia ({})

Love Always.
Anak gadismu, © Nida

Serang, 09 February 2015


No comments:

Post a Comment

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.