Beberapa hari belakangan ini. Aku sibuk mengisi jadwal
liburan yang cuma “sehari” dengan membaca Novel karya Stephenie Meyer. Yeah.
Menarik! Itulah kesimpulanku. Aku tidak berhenti membacanya. Bahkan sampai
halaman-pun habis. Aku mengulang-ulang membacanya. Browsing di Google-pun tak
terlupakan. Inilah Remaja. Bahkan ketika kita sedang tergila-gila pada sesuatu
sering tak lupa atau tak sengaja (?) Memimpikannya. Membawanya dalam khayalan.
Begitulah yang terjadi denganku ^^ setiap kali tidak ada hal *kesibukan Yang bisa aku lakukan. Aku
akan bermalas-malasan dan memenjamkan mata. Pikiranku kemana-mana. Membayangkan
diriku menjadi salah-satu tokoh utama dari buku yang aku baca. Ini konyol. Tapi
mengasyikan!
Buku yang baru saja aku baca judulnya “Midnight Sun” cerita
Twilight dalam pandangan si Edward Cullen’s ganteng. Sayang-nya, aku tidak
punya cukup uang untuk membeli buku :bagus:
itu *Bukunya udah terbit apa belum aja
aku gak tahu.
Jadi deh. Minta tolong dengan teman kesayanganku “google”
dan sebal-nya Cuma sampai 12 bab doang :/ gak lebih. Mereka bilang. Cerita itu adalah cerita yang gak sengaja bocor. Stephenie baru akan melanjutkan ceritanya setelah breaking dawn sudah beres (?) aku bertanya-tanya sebenarnya :Beres: Film atau Novel? Kalau Film? Itu masih nunggu 9 bulan lagi. Ya ampun T.T
dan sebal-nya Cuma sampai 12 bab doang :/ gak lebih. Mereka bilang. Cerita itu adalah cerita yang gak sengaja bocor. Stephenie baru akan melanjutkan ceritanya setelah breaking dawn sudah beres (?) aku bertanya-tanya sebenarnya :Beres: Film atau Novel? Kalau Film? Itu masih nunggu 9 bulan lagi. Ya ampun T.T
Sangat lama! Kalau Novel? Tentulah sudah ada novelnya. Iya
iya iya bukan?
OKE siapa yang minat baca BAB 1? Aku kasih nih. Dikit-dikit
yah ^^ lainnya nyusul.
1.Pandangan Pertama
Inilah
saat dimana aku berharap bisa tidur.
Sekolah.
Atau, penyiksaan lebih tepatnya? Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku.
Kejenuhan
ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari sebelumnya.
Mungkin
bagiku inilah tidur—jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri disela
aktivitas
harian.
Aku
menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu
salah
satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku.
Beratus
suara ini membuatku mati kebosanan.
Jika
menyankut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga ratusan
kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan seorang
murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu sekaligus.
Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran, dari segala
sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah ditebak—sama
seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-laki hidung
belang bahkan sudah ingin bermesraan dengannya, hanya karena ia anak baru. Aku
mesti lebih keras mengacuhkan mereka.
Hanya
empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka: milik
keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli lagi.
Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak mendengarkan,
kalau itu mungkin. Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tahu.
Rosalie
sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati pantulan dirinya
di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya. Pemikiran Rosalie agak
dangkal. Tidak banyak kejutan.
Emmet
masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh segala
kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk mengajak Jasper
tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran Emmet. Dia
jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung dikerjakan.
Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena sebetulnya ingin
disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa danau tak
berbayang, sangat jelas.
Sedang
Jasper... menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.
Edward.
Alice
memanggil, dan langsung menarik perhatianku.
Itu
seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah ketinggalan
jaman—biasanya
menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward yang lain,
otomatis
menoleh...
Ini
aku tidak menoleh. Alice
dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang yang
memergoki.
Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.
Bagaimana,
apa dia masih bertahan? Tanya Alice padaku.
Aku
sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya bagi
yang
lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu. Alice
langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya.
Apa
ada bahaya? Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tahu sumber
kegusaranku. Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan
bata di dinding, mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok.
Hanya Alice yang tahu aku sedang menggeleng.
Dia
kembali tenang. beritahu aku jika kondisinya memburuk.
Hanya
mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.
terima
kasih sudah mengawasinya.
Aku
lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan? 'dengan senang
hati'? Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggung mendengar pergulatan
Jasper.
Apa
perlu bereksperimen seperti ini? Bukannya lebih aman mengakui bahwa ia tidak
akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu memaksanya.
Mengapa harus bermain-main dengan bencana?
Ini
sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami
berempat.
Agak
tidak nyaman kadang-kadang—jika ada manusia berjalan terlampau dekat, atau jika
angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat. Insting mereka
memberitahu
apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa kami berbahaya.
Jasper
sedang sangat berbahaya saat ini.
Tiba-tiba,
seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan temannya.
Dia
menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya. Pemanas ruangan
meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya—perasaan
terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot yang
menegang, dan liur yang menetes deras.
Semuanya
normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper,
jadi
lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan cuma
dahagaku.
Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas—
membayangkan
dirinya bangkit dari samping Alice
dan berdiri di samping gadis itu.
Membayangkan
mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu
membiarkan
bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi yang
mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.
Aku
menendang kursinya. Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk.
Aku mendengar perasaan malu dan peperangan di kepalanya.
“Sori.”
gerutu Jasper.
Aku
mengangkat bahu.
“Kau
tidak akan melakukan apapun.” Alice
berbisik menghiburnya. “Aku bisa
melihatnya.”
Aku
coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah,
mendengar suara-suara atau melihat masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami
yang sudah aneh. Kami saling menjaga rahasia.
“Bisa
sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia.” Saran Alice,
nadanya
yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia. “Namanya
Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya mengundang Esme
di pesta kebun, kau ingat?”
“Aku
tahu siapa dia.” gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil di
bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.
Dia
harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba
menguji
kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima saja batasannya
dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan
diri. Alice
mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya—yang sekedar properti—dan
berlalu sendirian. Dia tahu kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan
Emmet lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice
dan Jasper yang lebih saling memahami.
Edward
Cullen.
Secara
reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar diucap,
hanya
dipikirkan. Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang
mata lebar manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai
hati. Aku mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada
di seluruh kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala
polisi kota
ini, yang terdampar karena soal perwalian.
Bella.
Dia mengoreksi yang memanggilnya dengan nama lengkap.
Aku
berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang
memikirkan
namaku.
Tentu
saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi
berlanjut.
Kukenali
'suaranya', Jessica Stanley—belum cukup lama sejak ia menggangguku
dengan
perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-gilaannya
berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya yang tak ada
habisnya.
Aku
harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi
jika bibirku dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di telinganya. Itu
akan menghentikan fantasifantasinya yang menjengkelkan. Memikirkan bagaimana
reaksinya hampir membuatku tersenyum.
Sedikit
lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak
cake. Entah kenapa Eric selalu
menatapnya...atau Mike.
Dia
mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike
Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap sebaliknya
pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda berkilau. Ini
membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan menjelaskan perihal
keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.
Semua
orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya. Betapa beruntungnya
Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike akan bertanya padaku
apa yang dia--
Aku
berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
“Jessica
Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu.”
aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia
tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
“Kurang
imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya.
Sedikit mengecewakan.”
Dan
si murid baru? Apa dia juga kecewa?
Aku
mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita Jessica.
Apa
pendapatnya
ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur, yang diasingkan ini?
Itu
tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas—
itu
istilah yang peling mendekati—bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika
seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu
sempat terjadi—beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami
mirip dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi
lebih baik menyingkir daripada mengambil resiko.
Jarang
ada yang menebak dengan tepat. Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji
hipotesisnya. Kami langsung menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku
tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica
yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa dia
telah pindah? Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku
mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku—ini
belum pernah dilakukan. Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat
yang sama. Dia masih duduk disitu, sedang melirik
kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan gosipnya. Memikirkan
tentang kami, itu juga wajar.
Tapi aku tidak mendengar bisikanpun.
Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu
kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan
bagaimana reaksinya jika melihat rona merah itu.
Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan
huruf di keningnya:
terkejut,
begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami; penasaran,
setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub? Itu bukan
yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami. Kemudian,
malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.
Tetap
saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh—aneh, karena terlihat
begitu
dalam; mata coklat biasanya datar—aku tidak mendengar apapun kecuali
keheningan.
Tidak
ada sama sekali. Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini
sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini? Aku
merasa
baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.
NB:
Lanjutannya nanti yaaa ^^
No comments:
Post a Comment
Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.
- Kutunggu komentarmu.