Sunday, January 22, 2012

Midnight Sun 1


Beberapa hari belakangan ini. Aku sibuk mengisi jadwal liburan yang cuma “sehari” dengan membaca Novel karya Stephenie Meyer. Yeah. Menarik! Itulah kesimpulanku. Aku tidak berhenti membacanya. Bahkan sampai halaman-pun habis. Aku mengulang-ulang membacanya. Browsing di Google-pun tak terlupakan. Inilah Remaja. Bahkan ketika kita sedang tergila-gila pada sesuatu sering tak lupa atau tak sengaja (?) Memimpikannya. Membawanya dalam khayalan. Begitulah yang terjadi denganku ^^ setiap kali tidak ada hal *kesibukan Yang bisa aku lakukan. Aku akan bermalas-malasan dan memenjamkan mata. Pikiranku kemana-mana. Membayangkan diriku menjadi salah-satu tokoh utama dari buku yang aku baca. Ini konyol. Tapi mengasyikan!

Buku yang baru saja aku baca judulnya “Midnight Sun” cerita Twilight dalam pandangan si Edward Cullen’s ganteng. Sayang-nya, aku tidak punya cukup uang untuk membeli buku :bagus: itu *Bukunya udah terbit apa belum aja aku gak tahu.
Jadi deh. Minta tolong dengan teman kesayanganku “google”
dan sebal-nya Cuma sampai 12 bab doang :/ gak lebih. Mereka bilang. Cerita itu adalah cerita yang gak sengaja bocor. Stephenie baru akan melanjutkan ceritanya setelah breaking dawn sudah beres (?) aku bertanya-tanya sebenarnya :Beres: Film atau Novel? Kalau Film? Itu masih nunggu 9 bulan lagi. Ya ampun T.T
Sangat lama! Kalau Novel? Tentulah sudah ada novelnya. Iya iya iya bukan?

OKE siapa yang minat baca BAB 1? Aku kasih nih. Dikit-dikit yah ^^ lainnya nyusul.

1.Pandangan Pertama

Inilah saat dimana aku berharap bisa tidur.
Sekolah. Atau, penyiksaan lebih tepatnya? Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku.
Kejenuhan ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari sebelumnya.
Mungkin bagiku inilah tidur—jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri disela
aktivitas harian.
Aku menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu
salah satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku.
Beratus suara ini membuatku mati kebosanan.
Jika menyankut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga ratusan kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan seorang murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu sekaligus. Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran, dari segala sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah ditebak—sama seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-laki hidung belang bahkan sudah ingin bermesraan dengannya, hanya karena ia anak baru. Aku mesti lebih keras mengacuhkan mereka.
Hanya empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka: milik keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli lagi. Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak mendengarkan, kalau itu mungkin. Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tahu.
Rosalie sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati pantulan dirinya di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya. Pemikiran Rosalie agak dangkal. Tidak banyak kejutan.
Emmet masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh segala kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk mengajak Jasper tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran Emmet. Dia jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung dikerjakan. Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena sebetulnya ingin disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa danau tak berbayang, sangat jelas.
Sedang Jasper... menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.
Edward. Alice memanggil, dan langsung menarik perhatianku.
Itu seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah ketinggalan
jaman—biasanya menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward yang lain,
otomatis menoleh...
Ini aku tidak menoleh. Alice dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang yang
memergoki. Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.
Bagaimana, apa dia masih bertahan? Tanya Alice padaku.
Aku sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya bagi
yang lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu. Alice langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya.
Apa ada bahaya? Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tahu sumber kegusaranku. Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan bata di dinding, mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok. Hanya Alice yang tahu aku sedang menggeleng.
Dia kembali tenang. beritahu aku jika kondisinya memburuk.
Hanya mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.
terima kasih sudah mengawasinya.
Aku lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan? 'dengan senang hati'? Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggung mendengar pergulatan Jasper.
Apa perlu bereksperimen seperti ini? Bukannya lebih aman mengakui bahwa ia tidak akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu memaksanya. Mengapa harus bermain-main dengan bencana?
Ini sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami berempat.
Agak tidak nyaman kadang-kadang—jika ada manusia berjalan terlampau dekat, atau jika angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat. Insting mereka
memberitahu apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa kami berbahaya.
Jasper sedang sangat berbahaya saat ini.
Tiba-tiba, seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan temannya.
Dia menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya. Pemanas ruangan meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya—perasaan terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot yang menegang, dan liur yang menetes deras.
Semuanya normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper,
jadi lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan cuma
dahagaku. Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas—
membayangkan dirinya bangkit dari samping Alice dan berdiri di samping gadis itu.
Membayangkan mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu
membiarkan bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi yang mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.
Aku menendang kursinya. Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk. Aku mendengar perasaan malu dan peperangan di kepalanya.
“Sori.” gerutu Jasper.
Aku mengangkat bahu.
“Kau tidak akan melakukan apapun.” Alice berbisik menghiburnya. “Aku bisa
melihatnya.”
Aku coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah, mendengar suara-suara atau melihat masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami yang sudah aneh. Kami saling menjaga rahasia.
“Bisa sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia.” Saran Alice,
nadanya yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia. “Namanya Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya mengundang Esme di pesta kebun, kau ingat?”
“Aku tahu siapa dia.” gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil di bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.
Dia harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba
menguji kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima saja batasannya dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan diri. Alice mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya—yang sekedar properti—dan berlalu sendirian. Dia tahu kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan Emmet lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice dan Jasper yang lebih saling memahami.
Edward Cullen.
Secara reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar diucap,
hanya dipikirkan. Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang mata lebar manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai hati. Aku mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada di seluruh kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala polisi kota ini, yang terdampar karena soal perwalian.
Bella. Dia mengoreksi yang memanggilnya dengan nama lengkap.
Aku berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang
memikirkan namaku.
Tentu saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi berlanjut.
Kukenali 'suaranya', Jessica Stanley—belum cukup lama sejak ia menggangguku
dengan perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-gilaannya berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya yang tak ada habisnya.
Aku harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi jika bibirku dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di telinganya. Itu akan menghentikan fantasifantasinya yang menjengkelkan. Memikirkan bagaimana reaksinya hampir membuatku tersenyum.
Sedikit lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak cake.  Entah kenapa Eric selalu menatapnya...atau Mike.
Dia mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap sebaliknya pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda berkilau. Ini membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan menjelaskan perihal keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.
Semua orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya. Betapa beruntungnya Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike akan bertanya padaku apa yang dia--
Aku berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
“Jessica Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu.” aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
“Kurang imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya. Sedikit mengecewakan.”
Dan si murid baru? Apa dia juga kecewa?
Aku mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita Jessica. Apa
pendapatnya ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur, yang diasingkan ini?
Itu tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas—
itu istilah yang peling mendekati—bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu sempat terjadi—beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami mirip dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi lebih baik menyingkir daripada mengambil resiko.
Jarang ada yang menebak dengan tepat. Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji hipotesisnya. Kami langsung menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa dia telah pindah? Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku—ini belum pernah dilakukan. Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat yang sama. Dia masih duduk disitu, sedang melirik kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan gosipnya. Memikirkan tentang kami, itu juga wajar.
Tapi aku tidak mendengar bisikanpun.
Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan bagaimana reaksinya jika melihat rona merah itu.
Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan huruf di keningnya:
terkejut, begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami; penasaran, setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub? Itu bukan yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami. Kemudian, malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.
Tetap saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh—aneh, karena terlihat
begitu dalam; mata coklat biasanya datar—aku tidak mendengar apapun kecuali keheningan.
Tidak ada sama sekali. Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini? Aku
merasa baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.

NB: Lanjutannya nanti yaaa ^^

No comments:

Post a Comment

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.