Berhubungan sebentar lagi mau diadakan Mabis. Aku ingin mengulas tema itu kali ini. ^_^
Apa itu MOS/Mabis dan Ospek?
MOS = Masa Orientasi Siswa
MABIS = Masa Bimbingan Siswa.
Oke sama aja -_-
OSPEK = Orientasi Siswa dan Pengenalan Kampus
Apa Tujuan dari MOS / Mabis dan Ospek?
Masa orientasi dilaksanakan untuk memberikan kesempatan bagi siswa /
mahasiswa baru agar bisa mengenal dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya mulai dari bangunan sekolah/kampus, teman baru,
senior, guru, dan apapun yang perlu diketahui oleh siswa baru mengenai
sekolah barunya.
Apa bedanya MOS/Mabis dan OSPEK?
MOS diadain di SMP/SMA sedangkan OSPEK di kampus
Perkembangan MOS/Mabis dan OSPEK?
Seiring berjalan dan berkembangnya zaman, masa orientasi baik di tingkat
sekolah maupun di kampus semakin berkembang. Sepengamatan TS, zaman
sekarang ini MOS dan OSPEK lebih banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan
yang jauh lebih cerdas daripada sekedar urusan senioritas yang mau
ngisengin anak baru.
Banyak masa orientasi yang diisi oleh talkshow2 bermanfaat, kegiatan
pengenalan dengan sesama anak baru dengan konsep2 yang kreatif, tugas2
yang udah ngga asal2an, dan lain sebagainya.
Intinya, jika kalian berada di sekolah/kampus yang normal, kalian
pasti dapat menemukan maksud dan tujuan positif di balik setiap kegiatan
masa orientasi yang kalian jalani.
Thursday, July 12, 2012
Tuesday, July 10, 2012
Procedure Text
Chocolate Cake
How To Make a Chocolate Cake =>
Ingredients:
o 1/2 hot water
o 2/3 cup shortening such as butter or margarine
o 1 3/4 cups sugar
o 1 tsp vanilla
o 2 eggs
o 2 1/4 cups sifter all-purpose flour
o 1 1/2 tsp baking soda
o 1/2 tsp salt
o 1 1/3 cup evaporated milk
Steps :
- In a small bowl, combine the cocoa powder and hot water. Stir thoroughly until it is completely dissolved. Set aside. This is the cocoa mixture.
- In another bowl, beat the shortening with an electric mixer. Slowly add sugar, then vanilla. Blend in eggs. This is the creamed mixture.
- In another bowl, combine flour, baking soda and salt.
- Alternately add the flour mixture and milk to the creamed mixture. Blend in the cocoa mixture. Pour the batter into two greased round pans.
- Leave a 1/2-inch headspace. Bake at 350°F for 35-40 minutes. To check if the cake is already done, insert a toothpick into the cake. If toothpick comes out dry, then the cake is already done.
- Cool cake before spreading icing or frosting. One frosting that will complement our very special chocolate cake is the chocolate frosting.
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Aku Kembali !!!!
Baik.... aku sudah begitu lama vakum dari blog ini. Tidak ada yang mengurusnya, walaupun aku masih begitu sibuk, aku ingin ini bisa berlangsung dan banyak orang yang membacanya. Jadi aku akan memulainya lagi dari awal. ^_^
Welcome My Blog. disini aku akan menceritakan apapun yang ingin aku ceritakan. Sekian. :D
Welcome My Blog. disini aku akan menceritakan apapun yang ingin aku ceritakan. Sekian. :D
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Saturday, February 4, 2012
Midnight Sun 3
Hola-Hola...
lanjuuuut : Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh
banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh
sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak seperti Tuhan;
kuakui itu—memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu pembelaan lemahku.
Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara harafiah. Semua korbanku, tidak lebih manusia daripada ku.
Wajah yang lain adalah Calisle.
Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.
Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki ciri-ciri
serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami; setiap vampir
memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal yang lain—cermin dari
gaya hidup bersama.
Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya, sampai
tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan hidupnya.
Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah membentuk diriku.
Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat pada alisku.
Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang tersisa dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan semerah iblis; segala kemiripan akan lenyap selamanya.
Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tahu ia akan memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku lebih baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan dia salah.
Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung—agak takut? Bau darahnya mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.
Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang
membakar kerongkonganku.
Aku menjauh darinya—memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.
Kenapa dia harus datang? Kenapa dia harus hidup? Kenapa dia harus merusak setitik
kedamaian dari ke tak-hidupanku? Mengapa pengganggu ini dilahirkan? Dia akan
menghancurkanku!
Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.
Siapa mahluk ini? Kenapa aku, kenapa sekarang? Kenapa aku mesti kehilangan
segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini?
Kenapa ia harus datang kesini!
Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan seumur
hidup!
Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.
Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika
saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.
Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni
kesampingku.
Apa dia gila? Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya.
Tidak ada lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan
hilang.
Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.
Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman. Aku
masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak mampu
menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup untuk keluar
dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi korban. Jika aku bisa
mehannya selama satu jam.
Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu
berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya ketika
tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika muncul bahaya. Aku
belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi kewaspadaan kami melebihi
manusia.
Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya
tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang, menggiurkan, dan
kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut—
Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.
Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya,
untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya menggerai
rambut? Menyembunyikan matanya dariku? Karena takut? Malu? Untuk menyimpan
rahasianya?
Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan
kebutuhan—dan kebencian—yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah
kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh tekadku,
kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik... Membencinya.
Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini—itu sedikit membantu. Ya, kemarahanku
tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada emosiku agar tidak
membayangkan mencicipi dia...
Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat?
Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang
kulakukan?
Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas
berikutnya?
Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup
mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa beralasan
ketinggalan buku di mobil...
Apakah ada yang menyadari aku bersamanya? Sekarang hujan, seperti biasa, dua orang
bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.
Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya—meskipun
tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran dengan
kegelisahan Bella—dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya, sebelum aromanya
merusak segalanya. Mike Newton akan tahu jika dia pergi denganku.
Jika mampu satu jam, bisakah dua jam?
Kusentak rasa terbakar yang perih ini.
Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tahu rumahnya,
seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa tetangga. Bahkan jika
sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada yang mendengar.
Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah manusia.
Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian, tidak ada orang lain yang
terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya, monster di kepalaku setuju.
Meskipun aku membenci dirinya, aku tahu itu tidak beralasan. Aku tahu yang kubenci
sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami berdua ketika ia mati.
Kulewati menit demi menit dengan cara ini—membayangkan cara terbaik
membunuhnya. Tapi aku menghindari bayangan saat mengeksekusinya. Itu terlalu
berlebihan. Aku bisa kalah dan membunuh semuanya sekarang juga. Maka aku membuat
strategi, tidak lebih. Dengan begitu satu jam akan berhasil kulalui.
Di penghujung, dia mencuri pandang lewat celah rambutnya. Kebencian mendalam
langsung menusukku ketika pandangan kami bertemu—melihatnya di pantulan matanya yang
ketakutan. Darah memerah di pipinya, dan aku sudah akan bergerak.
Tapi bel berbunyi. Selamat karena bel—Klise. Kami berdua sama-sama selamat. Dia,
dari kematian. Aku, walau hanya menunda, dari perubahan menjadi mahluk mengerikan yang
menjijikan.
Aku tidak berjalan sepelan semestinya ketika meluncur keluar. Mungkin mereka akan
curiga ada yang tidak beres dengan gerakanku. Tapi tidak ada yang memperhatikan. Semua
masih berkutat pada gadis yang telah dikutuk mati satu jam lagi.
Aku bersembunyi dalam mobil.
Sebenarnya aku tidak suka bersembunyi. Terlalu pengecut. Tapi ini pengecualian.
Aku sedang tidak tahan dekat-dekat manusia. Berkonsenstrasi untuk tidak mebunuh
satu orang membuatku ingin melampiaskannya ke orang lain. Betapa sia-sia. Jika menyerah
pada sang monster, sama saja kalah.
Kunyalakan CD yang biasanya menenangkan. Tapi efeknya cuma sedikit. Yang
kubutuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin, yang mengalir bersama rintik hujan.
Meskipun dapat mengingat bau darah Bella Swan dengan jelas, menghirup udara segar sama
seperti membilas organ tubuhku dari infeksi.
Kini aku kembali waras. Aku bisa berpikir. Dapat bertarung lagi, melawan apa yang
kutentang.
Aku tidak perlu ke rumahnya. Tidak perlu membunuhnya. Jelas, aku mahluk rasional, dan punya pilihan. Selalu ada pilihan.
lanjuuuut : Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh
banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh
sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak seperti Tuhan;
kuakui itu—memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu pembelaan lemahku.
Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara harafiah. Semua korbanku, tidak lebih manusia daripada ku.
Wajah yang lain adalah Calisle.
Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.
Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki ciri-ciri
serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami; setiap vampir
memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal yang lain—cermin dari
gaya hidup bersama.
Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya, sampai
tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan hidupnya.
Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah membentuk diriku.
Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat pada alisku.
Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang tersisa dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan semerah iblis; segala kemiripan akan lenyap selamanya.
Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tahu ia akan memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku lebih baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan dia salah.
Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung—agak takut? Bau darahnya mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.
Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang
membakar kerongkonganku.
Aku menjauh darinya—memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.
Kenapa dia harus datang? Kenapa dia harus hidup? Kenapa dia harus merusak setitik
kedamaian dari ke tak-hidupanku? Mengapa pengganggu ini dilahirkan? Dia akan
menghancurkanku!
Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.
Siapa mahluk ini? Kenapa aku, kenapa sekarang? Kenapa aku mesti kehilangan
segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini?
Kenapa ia harus datang kesini!
Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan seumur
hidup!
Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.
Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika
saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.
Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni
kesampingku.
Apa dia gila? Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya.
Tidak ada lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan
hilang.
Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.
Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman. Aku
masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak mampu
menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup untuk keluar
dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi korban. Jika aku bisa
mehannya selama satu jam.
Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu
berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya ketika
tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika muncul bahaya. Aku
belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi kewaspadaan kami melebihi
manusia.
Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya
tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang, menggiurkan, dan
kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut—
Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.
Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya,
untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya menggerai
rambut? Menyembunyikan matanya dariku? Karena takut? Malu? Untuk menyimpan
rahasianya?
Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan
kebutuhan—dan kebencian—yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah
kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh tekadku,
kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik... Membencinya.
Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini—itu sedikit membantu. Ya, kemarahanku
tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada emosiku agar tidak
membayangkan mencicipi dia...
Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat?
Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang
kulakukan?
Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas
berikutnya?
Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup
mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa beralasan
ketinggalan buku di mobil...
Apakah ada yang menyadari aku bersamanya? Sekarang hujan, seperti biasa, dua orang
bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.
Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya—meskipun
tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran dengan
kegelisahan Bella—dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya, sebelum aromanya
merusak segalanya. Mike Newton akan tahu jika dia pergi denganku.
Jika mampu satu jam, bisakah dua jam?
Kusentak rasa terbakar yang perih ini.
Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tahu rumahnya,
seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa tetangga. Bahkan jika
sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada yang mendengar.
Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah manusia.
Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian, tidak ada orang lain yang
terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya, monster di kepalaku setuju.
Meskipun aku membenci dirinya, aku tahu itu tidak beralasan. Aku tahu yang kubenci
sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami berdua ketika ia mati.
Kulewati menit demi menit dengan cara ini—membayangkan cara terbaik
membunuhnya. Tapi aku menghindari bayangan saat mengeksekusinya. Itu terlalu
berlebihan. Aku bisa kalah dan membunuh semuanya sekarang juga. Maka aku membuat
strategi, tidak lebih. Dengan begitu satu jam akan berhasil kulalui.
Di penghujung, dia mencuri pandang lewat celah rambutnya. Kebencian mendalam
langsung menusukku ketika pandangan kami bertemu—melihatnya di pantulan matanya yang
ketakutan. Darah memerah di pipinya, dan aku sudah akan bergerak.
Tapi bel berbunyi. Selamat karena bel—Klise. Kami berdua sama-sama selamat. Dia,
dari kematian. Aku, walau hanya menunda, dari perubahan menjadi mahluk mengerikan yang
menjijikan.
Aku tidak berjalan sepelan semestinya ketika meluncur keluar. Mungkin mereka akan
curiga ada yang tidak beres dengan gerakanku. Tapi tidak ada yang memperhatikan. Semua
masih berkutat pada gadis yang telah dikutuk mati satu jam lagi.
Aku bersembunyi dalam mobil.
Sebenarnya aku tidak suka bersembunyi. Terlalu pengecut. Tapi ini pengecualian.
Aku sedang tidak tahan dekat-dekat manusia. Berkonsenstrasi untuk tidak mebunuh
satu orang membuatku ingin melampiaskannya ke orang lain. Betapa sia-sia. Jika menyerah
pada sang monster, sama saja kalah.
Kunyalakan CD yang biasanya menenangkan. Tapi efeknya cuma sedikit. Yang
kubutuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin, yang mengalir bersama rintik hujan.
Meskipun dapat mengingat bau darah Bella Swan dengan jelas, menghirup udara segar sama
seperti membilas organ tubuhku dari infeksi.
Kini aku kembali waras. Aku bisa berpikir. Dapat bertarung lagi, melawan apa yang
kutentang.
Aku tidak perlu ke rumahnya. Tidak perlu membunuhnya. Jelas, aku mahluk rasional, dan punya pilihan. Selalu ada pilihan.
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Midnight Sun 2
Lanjut yah Novel Edward Story-nya ^^
Lanjutan : Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku. kira-kira apa musik kesukaannya... mungkin aku bisa menyinggung CD baru itu. Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya—memperhatikan Bella Swan.
Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga masih sekitaran perempuan itu. benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan Edward
Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-bisa menghijau.
Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran terus bermuntahan dari
pikirannya. ...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin ngobrol
dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.
...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson berharap.
...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes bahasa Inggris.
Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-satunya di meja yang tidak terobsesi pada si Bella.
Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka. Tapi tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.
Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak perlu membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.
“Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?” aku dengar ia bertanya, mengerling
dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tahu aku masih menatapnya.
Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah
dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama dengan
aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada diantara ratusan pikiran
yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu. Suaranya benar-benar baru.
Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. “Itu Edward. Dia
tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satupun perempuan disini cukup cantik baginya.” Dia mendengus.
Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tahu betapa beruntungnya mereka tidak memenuhi seleraku.
Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini ada hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan desakan aneh untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan Jessica. Sungguh perasaan yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku mempelajari murid baru itu sekali lagi.
Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindunggi—yang kuat pada yang lemah. Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu tipis dan trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia luar. Aku bisa melihat darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah membrannya yang pucat dan jernih... tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan hidupku, tapi sama hausnya dengan Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.
Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.
Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan perasaan malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu datangnya penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma membayangkan. Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini. Aku tidak mendengar apa-apa. Kenapa?
“Ayo pergi.” Rosalie berbisik, memecah perhatianku.
Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi—itu membuat kesal. Dan aku tidak
ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku. Tak ada
keraguan, ketika mampu menembus pikirannya—dan aku akan mencari cara—pasti sama
sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan usahanya.
“Jadi, apa murid baru itu takut?” tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban
pertanyaan tadi.
Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu juga
denganku.
Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.
Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas mereka.
Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak mungkin bagi Mr.
Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang mengejutkan seseorang yang
memegang dua gelar kedokteran.
Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi—satu lagi peralatan
kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk
sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tahu mereka takut, tapi insting bertahannya
cukup untuk membuat mereka menyingkir.
Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan menunggu
waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.
Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.
Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap bisa
mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...
Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.
Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi
pikirannya seharusnya membuatku jengkel.
Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya tempat
kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-bukuku. Aku ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh—di kelas ini, paling tidak.
Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan rahasianya...bukannya aku butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan menemukan hal yang menarik...
Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.
Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal
ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang tiba-tiba
melandaku.
Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekai seperti manusia; tidak ada lagi jejak kemanusiaan yang tersisa.
Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.
Tidak ada ruangan penuh saksi—di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak
terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia tidak akan
memikirkannya.
Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama
delapan puluh tahun.
Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku
pernah tahu, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya. Bisa
kubayangkan sedapnya...
Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering.
Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar akibat haus.
Otot-ototku menegang siap terlontar.
Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin bertiup.
Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam.
Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar matanya.
Wajah syok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.
Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di otakku.
Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk, memberontak, tak
karuan. Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk—dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih untuk
ukuran manusia.
Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku—sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan puluhan
tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir membuatku
bertindak.
Jangan!
Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat dibalik meja.
Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya.
Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya.
Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji ini. Aku
belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh tahun. Dan
sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum seisi ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari yang sedang kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau kesakitan; aku tidak akan membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi pada monster dalam diriku, darahnya yang menggiurkan.
Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela, terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu—halangi dan mereka terperangkap. Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan mendengar...dan terpaksa membunuh lebih banyak lagi. Dan darahnya akan mendingin.
Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit...
Maka saksinya lebih dulu. Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang. Kuhabisi dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu taksiranku. Tidak
akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang terjadi. Kemudian berputar di depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan makan waktu, paling tidak, lima detik untuk
menghabisi seisi ruangan.
Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup
lama untuk ngeri. Cukup lama, jika syok tidak membuatnya membeku, untuk membuatnya
menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.
Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam diriku.
Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.
Monster di kepalaku tersenyum.
Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk
itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke mukaku.
Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang berharga itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.
Bersambung.... ^^
Lanjutan : Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku. kira-kira apa musik kesukaannya... mungkin aku bisa menyinggung CD baru itu. Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya—memperhatikan Bella Swan.
Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga masih sekitaran perempuan itu. benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan Edward
Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-bisa menghijau.
Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran terus bermuntahan dari
pikirannya. ...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin ngobrol
dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.
...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson berharap.
...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes bahasa Inggris.
Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-satunya di meja yang tidak terobsesi pada si Bella.
Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka. Tapi tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.
Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak perlu membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.
“Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?” aku dengar ia bertanya, mengerling
dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tahu aku masih menatapnya.
Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah
dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama dengan
aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada diantara ratusan pikiran
yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu. Suaranya benar-benar baru.
Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. “Itu Edward. Dia
tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satupun perempuan disini cukup cantik baginya.” Dia mendengus.
Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tahu betapa beruntungnya mereka tidak memenuhi seleraku.
Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini ada hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan desakan aneh untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan Jessica. Sungguh perasaan yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku mempelajari murid baru itu sekali lagi.
Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindunggi—yang kuat pada yang lemah. Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu tipis dan trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia luar. Aku bisa melihat darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah membrannya yang pucat dan jernih... tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan hidupku, tapi sama hausnya dengan Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.
Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.
Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan perasaan malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu datangnya penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma membayangkan. Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini. Aku tidak mendengar apa-apa. Kenapa?
“Ayo pergi.” Rosalie berbisik, memecah perhatianku.
Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi—itu membuat kesal. Dan aku tidak
ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku. Tak ada
keraguan, ketika mampu menembus pikirannya—dan aku akan mencari cara—pasti sama
sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan usahanya.
“Jadi, apa murid baru itu takut?” tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban
pertanyaan tadi.
Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu juga
denganku.
Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.
Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas mereka.
Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak mungkin bagi Mr.
Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang mengejutkan seseorang yang
memegang dua gelar kedokteran.
Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi—satu lagi peralatan
kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk
sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tahu mereka takut, tapi insting bertahannya
cukup untuk membuat mereka menyingkir.
Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan menunggu
waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.
Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.
Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap bisa
mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...
Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.
Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi
pikirannya seharusnya membuatku jengkel.
Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya tempat
kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-bukuku. Aku ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh—di kelas ini, paling tidak.
Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan rahasianya...bukannya aku butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan menemukan hal yang menarik...
Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.
Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal
ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang tiba-tiba
melandaku.
Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekai seperti manusia; tidak ada lagi jejak kemanusiaan yang tersisa.
Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.
Tidak ada ruangan penuh saksi—di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak
terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia tidak akan
memikirkannya.
Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama
delapan puluh tahun.
Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku
pernah tahu, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya. Bisa
kubayangkan sedapnya...
Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering.
Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar akibat haus.
Otot-ototku menegang siap terlontar.
Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin bertiup.
Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam.
Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar matanya.
Wajah syok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.
Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di otakku.
Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk, memberontak, tak
karuan. Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk—dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih untuk
ukuran manusia.
Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku—sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan puluhan
tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir membuatku
bertindak.
Jangan!
Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat dibalik meja.
Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya.
Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya.
Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji ini. Aku
belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh tahun. Dan
sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum seisi ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari yang sedang kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau kesakitan; aku tidak akan membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi pada monster dalam diriku, darahnya yang menggiurkan.
Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela, terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu—halangi dan mereka terperangkap. Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan mendengar...dan terpaksa membunuh lebih banyak lagi. Dan darahnya akan mendingin.
Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit...
Maka saksinya lebih dulu. Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang. Kuhabisi dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu taksiranku. Tidak
akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang terjadi. Kemudian berputar di depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan makan waktu, paling tidak, lima detik untuk
menghabisi seisi ruangan.
Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup
lama untuk ngeri. Cukup lama, jika syok tidak membuatnya membeku, untuk membuatnya
menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.
Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam diriku.
Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.
Monster di kepalaku tersenyum.
Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk
itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke mukaku.
Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang berharga itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.
Bersambung.... ^^
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Monday, January 23, 2012
Nikmati Hidupmu ! Tersenyumlah !
Yay ! tiba-tiba aku ingin bercerita tentang tema ini.
Entahlah perasaanku sedang buruk sekarang. Oh bukan, perasaanku memang buruk
setiap waktu. Argh :/
Aku benci pada diriku yang selalu mengeluh.
Apakah kau tahu kawan? Uh, baiklah pertama-tama aku ingin
bertanya pada kalian tentang kehidupan kalian dahulu sebelum ke topik OK? Oke
dimulai dari hidupku :D
Aku benci menceritakannya, tapi aku yakin ini bukan sebuah
rahasia yang perlu disimpan. Aku menginginkannya. Menginginkan kalian
membacanya dan memahami perasaanku yang hidup seperti ini. Hidupku… begitu
membosankan dan tidak ada yang menarik, aku hidup seperti sebuah kesalahan.
Kesalahan bahwa ibuku seharusnya tidak melahirkanku. Bahwa seharusnya taqdirku
adalah mati sebelum aku mencapai usia 2 tahun. Tapi inilah aku, 16 tahun. Aku
masih bernafas.
Tuhan? Apakah ini sebuah kesalahan? Kesalahan? Mungkin orang
lain tidak tahu, tapi orang-orang terdekatku tahu. Mereka adalah orang yang
mengenalku sejak aku masih kecil, sejak aku masih orang tolol dan polos. Mereka
tahu siapa aku sebenarnya.
Aku ingin jujur pada semua orang yang aku kenal sekarang,
mereka yang tidak tahu siapa aku sebenarnya. Aku ingin mengatakan “maaf”
benar-benar maaf teman, selama ini aku selalu berbohong dan hidup di balik
topeng. Saat aku bersama kalian. Aku menyesal tapi aku tahu tidak bisa berubah
tidak bisa mengatakan kejujuran.
Kejujuran… memang pahit. Tapi inilah taqdir, saat aku baru
masuk SMP. Aku sudah memutuskan keputusan ini, yeah… jangan bertanya itu
keputusan apa. Aku yakin. Kamu yang membaca tulisan ini tidak mengerti
maksudnya. Tapi… cobalah pahami dan ikuti kata-katanya saja. Seperti kita
mengikuti alurnya ketika kita membaca novel :)
Aku katakan, aku tidak mengerti hidupku sendiri, ada saat
dimana aku merasa aku membenci kondisiku sekarang ini. Tapi apa yang bisa aku
lakukan? Menyesalinya? Tuhan tidak akan mengubah taqdirku, kecuali itu adalah
pilihannya. Kecuali aku mencoba merubahnya sendiri. Aku hanya berjalan sesuai
taqdir, aku menjalaninya sebaik mungkin. Aku mengubah hal buruk menjadi berkah.
Sebisaku. Begitulah.
Kadang-kadang ini melelahkan, membosankan, menyesakkan, dan
tidak lagi mengasyikkan. Semakin aku dewasa aku semakin ketakutan. Semakin banyak
bebanku. Semakin hilang semangatku. Seakan-akan aku tidak sanggup hidup lagi.
Aku bahkan meragukan aku bisa bertahan sampai umurku 25 tahun.
Aku mencobanya, mencobanya bahkan sampai sekarang, sampai
umurku 16 tahun. Aku masih mencoba bertahan.
Kawan… hidup diduniaku tidak semudah yang kau bayangkan.
Hidup diduniaku akan benar-benar membuatmu gila. Dari 100 orang yang berada
didekatku, kemungkinannya hanya 1 orang yang akan bertahan dengan sikapku,
karakterku. Karena inilah aku… aku bukan orang normal, aku tidak normal. Jelas?
Aku menggerti, masih ada diluar sana yang hidup lebih menyedihkan daripada
aku. Inilah alasanku untuk tidak mengeluh. Aku ingin membalas setiap kebaikan
orang yang pernah membuatku tersenyum :) Semangatlah! dan
Nikmatilah hidupmu apa adanya! Aku hanya ingin memberi kesan; Jangan Pernah
menyerah hadapi cobaan dan rintangan yang menghalangi jalan masa depanmu. Tetaplah
tersenyum jalani harimu. Itulah yang juga aku lakukan ^^
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Sunday, January 22, 2012
Midnight Sun 1
Beberapa hari belakangan ini. Aku sibuk mengisi jadwal
liburan yang cuma “sehari” dengan membaca Novel karya Stephenie Meyer. Yeah.
Menarik! Itulah kesimpulanku. Aku tidak berhenti membacanya. Bahkan sampai
halaman-pun habis. Aku mengulang-ulang membacanya. Browsing di Google-pun tak
terlupakan. Inilah Remaja. Bahkan ketika kita sedang tergila-gila pada sesuatu
sering tak lupa atau tak sengaja (?) Memimpikannya. Membawanya dalam khayalan.
Begitulah yang terjadi denganku ^^ setiap kali tidak ada hal *kesibukan Yang bisa aku lakukan. Aku
akan bermalas-malasan dan memenjamkan mata. Pikiranku kemana-mana. Membayangkan
diriku menjadi salah-satu tokoh utama dari buku yang aku baca. Ini konyol. Tapi
mengasyikan!
Buku yang baru saja aku baca judulnya “Midnight Sun” cerita
Twilight dalam pandangan si Edward Cullen’s ganteng. Sayang-nya, aku tidak
punya cukup uang untuk membeli buku :bagus:
itu *Bukunya udah terbit apa belum aja
aku gak tahu.
Jadi deh. Minta tolong dengan teman kesayanganku “google”
dan sebal-nya Cuma sampai 12 bab doang :/ gak lebih. Mereka bilang. Cerita itu adalah cerita yang gak sengaja bocor. Stephenie baru akan melanjutkan ceritanya setelah breaking dawn sudah beres (?) aku bertanya-tanya sebenarnya :Beres: Film atau Novel? Kalau Film? Itu masih nunggu 9 bulan lagi. Ya ampun T.T
dan sebal-nya Cuma sampai 12 bab doang :/ gak lebih. Mereka bilang. Cerita itu adalah cerita yang gak sengaja bocor. Stephenie baru akan melanjutkan ceritanya setelah breaking dawn sudah beres (?) aku bertanya-tanya sebenarnya :Beres: Film atau Novel? Kalau Film? Itu masih nunggu 9 bulan lagi. Ya ampun T.T
Sangat lama! Kalau Novel? Tentulah sudah ada novelnya. Iya
iya iya bukan?
OKE siapa yang minat baca BAB 1? Aku kasih nih. Dikit-dikit
yah ^^ lainnya nyusul.
1.Pandangan Pertama
Inilah
saat dimana aku berharap bisa tidur.
Sekolah.
Atau, penyiksaan lebih tepatnya? Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku.
Kejenuhan
ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari sebelumnya.
Mungkin
bagiku inilah tidur—jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri disela
aktivitas
harian.
Aku
menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu
salah
satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku.
Beratus
suara ini membuatku mati kebosanan.
Jika
menyankut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga ratusan
kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan seorang
murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu sekaligus.
Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran, dari segala
sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah ditebak—sama
seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-laki hidung
belang bahkan sudah ingin bermesraan dengannya, hanya karena ia anak baru. Aku
mesti lebih keras mengacuhkan mereka.
Hanya
empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka: milik
keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli lagi.
Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak mendengarkan,
kalau itu mungkin. Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tahu.
Rosalie
sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati pantulan dirinya
di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya. Pemikiran Rosalie agak
dangkal. Tidak banyak kejutan.
Emmet
masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh segala
kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk mengajak Jasper
tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran Emmet. Dia
jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung dikerjakan.
Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena sebetulnya ingin
disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa danau tak
berbayang, sangat jelas.
Sedang
Jasper... menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.
Edward.
Alice
memanggil, dan langsung menarik perhatianku.
Itu
seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah ketinggalan
jaman—biasanya
menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward yang lain,
otomatis
menoleh...
Ini
aku tidak menoleh. Alice
dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang yang
memergoki.
Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.
Bagaimana,
apa dia masih bertahan? Tanya Alice padaku.
Aku
sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya bagi
yang
lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu. Alice
langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya.
Apa
ada bahaya? Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tahu sumber
kegusaranku. Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan
bata di dinding, mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok.
Hanya Alice yang tahu aku sedang menggeleng.
Dia
kembali tenang. beritahu aku jika kondisinya memburuk.
Hanya
mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.
terima
kasih sudah mengawasinya.
Aku
lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan? 'dengan senang
hati'? Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggung mendengar pergulatan
Jasper.
Apa
perlu bereksperimen seperti ini? Bukannya lebih aman mengakui bahwa ia tidak
akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu memaksanya.
Mengapa harus bermain-main dengan bencana?
Ini
sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami
berempat.
Agak
tidak nyaman kadang-kadang—jika ada manusia berjalan terlampau dekat, atau jika
angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat. Insting mereka
memberitahu
apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa kami berbahaya.
Jasper
sedang sangat berbahaya saat ini.
Tiba-tiba,
seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan temannya.
Dia
menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya. Pemanas ruangan
meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya—perasaan
terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot yang
menegang, dan liur yang menetes deras.
Semuanya
normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper,
jadi
lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan cuma
dahagaku.
Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas—
membayangkan
dirinya bangkit dari samping Alice
dan berdiri di samping gadis itu.
Membayangkan
mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu
membiarkan
bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi yang
mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.
Aku
menendang kursinya. Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk.
Aku mendengar perasaan malu dan peperangan di kepalanya.
“Sori.”
gerutu Jasper.
Aku
mengangkat bahu.
“Kau
tidak akan melakukan apapun.” Alice
berbisik menghiburnya. “Aku bisa
melihatnya.”
Aku
coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah,
mendengar suara-suara atau melihat masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami
yang sudah aneh. Kami saling menjaga rahasia.
“Bisa
sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia.” Saran Alice,
nadanya
yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia. “Namanya
Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya mengundang Esme
di pesta kebun, kau ingat?”
“Aku
tahu siapa dia.” gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil di
bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.
Dia
harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba
menguji
kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima saja batasannya
dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan
diri. Alice
mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya—yang sekedar properti—dan
berlalu sendirian. Dia tahu kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan
Emmet lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice
dan Jasper yang lebih saling memahami.
Edward
Cullen.
Secara
reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar diucap,
hanya
dipikirkan. Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang
mata lebar manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai
hati. Aku mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada
di seluruh kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala
polisi kota
ini, yang terdampar karena soal perwalian.
Bella.
Dia mengoreksi yang memanggilnya dengan nama lengkap.
Aku
berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang
memikirkan
namaku.
Tentu
saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi
berlanjut.
Kukenali
'suaranya', Jessica Stanley—belum cukup lama sejak ia menggangguku
dengan
perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-gilaannya
berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya yang tak ada
habisnya.
Aku
harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi
jika bibirku dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di telinganya. Itu
akan menghentikan fantasifantasinya yang menjengkelkan. Memikirkan bagaimana
reaksinya hampir membuatku tersenyum.
Sedikit
lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak
cake. Entah kenapa Eric selalu
menatapnya...atau Mike.
Dia
mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya,
Mike
Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap sebaliknya
pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda berkilau. Ini
membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan menjelaskan perihal
keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.
Semua
orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya. Betapa beruntungnya
Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike akan bertanya padaku
apa yang dia--
Aku
berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.
“Jessica
Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru
itu.”
aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.
Dia
tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.
“Kurang
imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian
horornya.
Sedikit mengecewakan.”
Dan
si murid baru? Apa dia juga kecewa?
Aku
mencari tahu pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita Jessica.
Apa
pendapatnya
ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur, yang diasingkan ini?
Itu
tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas—
itu
istilah yang peling mendekati—bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika
seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu
sempat terjadi—beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami
mirip dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi
lebih baik menyingkir daripada mengambil resiko.
Jarang
ada yang menebak dengan tepat. Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji
hipotesisnya. Kami langsung menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...
Aku
tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal
Jessica
yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa dia
telah pindah? Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku
mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku—ini
belum pernah dilakukan. Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat
yang sama. Dia masih duduk disitu, sedang melirik
kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan gosipnya. Memikirkan
tentang kami, itu juga wajar.
Tapi aku tidak mendengar bisikanpun.
Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu
kedapatan mencuri
pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan
bagaimana reaksinya jika melihat rona merah itu.
Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan
huruf di keningnya:
terkejut,
begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami; penasaran,
setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub? Itu bukan
yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami. Kemudian,
malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.
Tetap
saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh—aneh, karena terlihat
begitu
dalam; mata coklat biasanya datar—aku tidak mendengar apapun kecuali
keheningan.
Tidak
ada sama sekali. Sejenak aku merasa tidak nyaman.
Ini
sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini? Aku
merasa
baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.
NB:
Lanjutannya nanti yaaa ^^
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Catatan Masa Lalu
KENANGAN
jujur saja, ada sedikit sakit di hati, aku tidak dapat menjelaskannya.
suatu perasaan yang sulit aku terima.
tapi suatu hari nanti... aku akan merindukan masa-masa ini,
teman, sahabat, sakit hati, cinta, suka-duka, semua kisah itu telah terjadi di bangunan hijau berlantai dua yang terletak dipusat kota. sekolahku, sekolah sederhana tapi menyimpan banyak kisah dalam tiap murid-nya.
bagaimana semuanya bermula, saat aku begitu bersemangatnya datang ke sekolah hanya untuk melihat idola-ku,
hanya ingin menceritakan lelucon yang tak nyata pada teman sebangku-ku, atau hanya ingin jalan-jalan setelah jam sekolah berakhir...
semuanya terjadi dalam waktu 3 tahun. waktu yang terasa lama. tapi sekarang? waktu 3 tahun itu singkat seperti hanya 3 hari.
Heni, Dela, Yoan, Rima, Hera, Putri, Ayu, Diana.
semuanya...
terima kasih...
telah menerimaku dengan baik
hati yang dingin ini luluh ketika bertemu dengan kalian
benar-benar terima kasih kawan,
kalian membuka selembar moment bahagia dalam hatiku
karena inilah, aku sedikit mengerti.
dan walaupun sulit. walaupun tidak bisa. walaupun aku tidak mau
aku tetap ingin mencoba
menjalani semuanya dengan benar. kehidupanku
aku berharap diwaktu yang akan datang, kita bertemu lagi.
_ _
18 agustus 2011
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Procedure Text
Aku mau sedikit bagi-bagi tugas sekolah nih. salah-satu tugas yang Bpk. Drs. I ketut wedra. Guru B.inggris Kelas X. di sekolahku. memberikan tugas seperti ini. di Print di kertas A4 dan jadikan satu dengan anak-anak lain, setelah terkumpul sebanyak jumlah murid di kelas. silahkan di jilid rapi. warna ini... begini... argh, tapi. beginilah yang namanya sekolah. lumayan khan buat nambah nilai raport ^^
STRAWBERRY CAKE
Ingredients :· Ingredients for Cake :
1. 8 eggs2. 200 gr sugar3. 200 gr margarine, melted4. 190 gr flour5. 25 gr cocoa powder6. 1 tsp cake emulsifier· Ingredients for fill :1. Whipped cream2. Strawberry jam· Ingredients for spread :1. 200 gr dark cooking chocolate2. 100 ml heavy cream3. 1 tablespoon butter4. 10 fresh strawberries, slicedSteps :· Make cream1. Tim dark cooking chocolate until melted. Enter the heavy cream and unsalted butter, stir until smooth.2. Remove and let cool3. Use it for sprinkling the cake· Make cake1. Put chocolate powder, flour, sugar and eggs. Beat until fluffy and creamy.2. Reduce the mixer and enter the liquid margarine, beat until blended.3. Pour butter into a 25 cm round baking pan that has been coasted with baking paper and smeared with margarine.4. Bake until cooked for 55 minutes with a temperature of 180 degrees centigrade, and lift it.5. Cut the cake into 2 parts.6. Brush the cake with one part of the content material, whipped cream and strawberry jam until blended.7. Stacks with the other cake, then spread with ingredients spreads up to the average and give sliced strawberries on top.
STRAWBERRY CAKE
Ingredients :· Ingredients for Cake :
1. 8 eggs2. 200 gr sugar3. 200 gr margarine, melted4. 190 gr flour5. 25 gr cocoa powder6. 1 tsp cake emulsifier· Ingredients for fill :1. Whipped cream2. Strawberry jam· Ingredients for spread :1. 200 gr dark cooking chocolate2. 100 ml heavy cream3. 1 tablespoon butter4. 10 fresh strawberries, slicedSteps :· Make cream1. Tim dark cooking chocolate until melted. Enter the heavy cream and unsalted butter, stir until smooth.2. Remove and let cool3. Use it for sprinkling the cake· Make cake1. Put chocolate powder, flour, sugar and eggs. Beat until fluffy and creamy.2. Reduce the mixer and enter the liquid margarine, beat until blended.3. Pour butter into a 25 cm round baking pan that has been coasted with baking paper and smeared with margarine.4. Bake until cooked for 55 minutes with a temperature of 180 degrees centigrade, and lift it.5. Cut the cake into 2 parts.6. Brush the cake with one part of the content material, whipped cream and strawberry jam until blended.7. Stacks with the other cake, then spread with ingredients spreads up to the average and give sliced strawberries on top.
Selesai !! selamat menikmati ^^
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Saturday, January 21, 2012
Curhat Asyik Two
Curhat lagi yuk? Ah... perasaanku buruk dan tidak ada orang yang ingin mendengarkan isi hatiku. Aku benci seperti ini :/ aku selalu menyukai keceriaan. Tapi mood-ku tidak selalu baik belakangan. Entahlah. Ya Tuhan ada apa denganku? aku hanya ingin diperhatikan !
Perasaan bisa hanyut ketika datang hujan.
Yang sebelumnya derai mendung khan menandai
Ketika angin lewat, kegundahan hilang seketika
Tapi khan muncul lagi dengan hadirnya mentari.
Mungkin…
tiada arti lagi selain menyakitkan.
Ketika kita benar-benar mengerti artinya cinta
Tiba-tiba dunia menjadi seperti neraka
Kita bisa termenung karena cemas,
Kecemasan menjadi trauma,
selanjutnya ketakutan
Hingga datanglah secercah cahaya yang menyadarkan
Ketika hidup menjadi serba salah, Terjadilah konflik perbedaan.
Aku hanya bisa diam, Tanpa memberitahu penjelasan sejujurnya
Tapi ini lebih baik, daripada mereka yang tak menggerti menjadi tahu.
Perasaan bisa hanyut ketika datang hujan.
Yang sebelumnya derai mendung khan menandai
Ketika angin lewat, kegundahan hilang seketika
Tapi khan muncul lagi dengan hadirnya mentari.
Mungkin…
tiada arti lagi selain menyakitkan.
Ketika kita benar-benar mengerti artinya cinta
Tiba-tiba dunia menjadi seperti neraka
Kita bisa termenung karena cemas,
Kecemasan menjadi trauma,
selanjutnya ketakutan
Hingga datanglah secercah cahaya yang menyadarkan
Ketika hidup menjadi serba salah, Terjadilah konflik perbedaan.
Aku hanya bisa diam, Tanpa memberitahu penjelasan sejujurnya
Tapi ini lebih baik, daripada mereka yang tak menggerti menjadi tahu.
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Curhat Itu Asyik
YOU!!! Sister....
Orang ini terasa asing bagiku.
tidak penduli aku telah mengenalnya sejak lahir.
Ketika perbedaan berada di pihaknya menang
Tapi dia tak bisa menghargai kekurangan
Kelebihannya adalah neraka. Raut wajahnya adalah iblis.
Setiap perkataanya adalah api yang panas.
Terdengar menyakitkan, menusuk, basi dan omong kosong!
Mungkin bagiku. Jiwanya mengajak pada jalan kesesatan.
Kini…
aku berlindung pada yang kuasa.
Sabar dan berdo’a hanya satu-satunya yang menjadi jalan
keluar.
Ketika aku melihat bayangan bersahabat diantara iblis itu.
Hanya satu hal untuk sesaat pergi dan melupakan adalah
berkhayal.
Itu lebih mengasyikkan.
Berada pada orang-orang yang bisa menghargai perbedaan.
Aku sangat menghormati mereka selagi belajar darinya.
kapan semuanya akan berakhir?
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
KaMut One
Kata Mutiara itu indah. Menghanyutkan perasaanku. Dibalik setiap kisah yang aku lewati. Aku mencoba untuk mencerna dan memahami hidup, yeah... Ini adalah sebuah kata yang coba aku buat. Tidak menarik. tapi aku ingin menyimpannya dalam memory. Dan berharap salah satu seseorang bisa membacanya ^^
aku tidak keren, juga aku hidup bukan mencari banyak kawan
satu orang sahabat sudah cukup, tapi itu sulit didapatkan.
aku mencoba menjadi diriku,
tapi... mereka menuntutku menjadi orang lain.
hanya karena ini, hidupku menjadi tidak bermakna.
bisakah kau mengatakannya padaku ibu?
aku hanya ingin kau seorang yang melakukan ini.
tidak ada yang menyukaiku, itulah mengapa aku merasa sedih, karna aku tidak pernah dibutuhkan didunia ini.
kau pikir aku orang yang baik?
tidak!!! aku bahkan tidak pernah belajar ketulusan.
Sedang belajar untuk menjadi perempuan sesungguhnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)