Love is the Moment
(Part 2)
A cerpen by Annida Sholihah dan
Annisa Aprilia
“Bisakah waktu berhenti saat ini
juga? Aku menyesal pada semua yang terjadi di hidupku. Lalu, ini salah siapa?”
Aku
berlari sejauh yang aku bisa, berusaha sebaik mungkin agar tidak menangis, air
mataku hampir tumpah. Kata-kata ibuku –ibu kandungku- selalu tergiang-giang
begitu saja, menerobos masuk ke dalam pikiranku.
‘Jangan lemah Reinna. Kamu bukanlah
gadis lemah, kalau bunda sampai melihatmu menangis lagi. Jangan harap mendapat
belas kasihan’
Aku
menghela nafas kesal, menghapus sisa-sisa air mata yang terlanjur membasahi
pipiku tanpa permisi. Dengan langkah yang mantap aku berbelok arah. Terkejut,
tak menyadari aku telah berlari sejauh ini. Pelajaran ke-empat pasti sudah di
mulai. Aku mempercepat langkah. Berharap waktunya belum terlambat.
“Sial”
umpatku dengan nafas terengah. Aku menatap pintu ruang kelas yang tertutup
rapat. Pelajaran ke-empat sudah di mulai. Bu Nengsih akan memberiku hukuman
yang mungkin tak akan sanggup aku penuhi.
Aku
mengetuk pintu. Tertawa samar menatap ekspresi guru Sejarahku. Tak ada yang
lebih memalukan dari pada berdiri di depan kelas dan di marahi habis-habisan.
Tapi pada akhirnya,
“Ke
kantor setelah pulang sekolah Reinna! Jangan harap kamu akan lulus pelajaran
ibu jika kabur lagi” Ucapnya langsung pada topik. Aku hanya bisa menghela nafas
menahan air mataku keluar -lagi-
Ingin
aku menjawabnya “ya” tapi sudahlah. Aku tak akan mampu, yang bisa aku lakukan
hanya menunduk. Bu Nengsih mempersilahkann aku agar duduk. Sisa pelajaran hari
itu, aku tak bisa fokus. Sialan!
Di ujung ruang kelas. Bangku kedua
dekat jendela dan meja guru. Tyo diam-diam memperhatikanku. Menatapku dengan
prihatin. Begitu juga dengan anak-anak yang lain. Aku tak peduli dengan tatapan
itu, pikiranku sudah rued sejak dua bulan belakangan ini. Bahkan untuk sekedar
mempersiapkan diri dengan hukuman ‘pulang
sekolah’ saja sudah membuatku mual.
Pada akhirnya bel pulang berbunyi. Seseorang
menghampiri mejaku.
“Hey
Na. Mau aku temenin ke kantor?” Ucap Tyo menawari. Ada nada bercanda dari cara
bicaranya, tapi aku yakin dia tak sedang bercanda. Lebih ke arah cemas.
Mungkin.
Aku
menatapnya sinis. Tyo merupakan sahabatku sejak SMP. Tiada hari tanpa Tyo. Dan
rasanya akan membosankan jika tak bertemu dengannya. Sejak orang tuaku
bercerai, ayahku menikah lagi dan kedatangan Vionna di kehidupanku, di
keluargaku. Semuanya berubah. Aku berfikir sepanjang sisa pelajaran hari ini
dan membuat kesimpulan ‘mungkin ini salah
ayah dan bunda’. -kembali ke dunia nyata- aku mengangkat bahu, meninggalkan
Tyo begitu saja, sebelum melewati pintu aku menatap Vionna sejenak, ia tengah
merapikan buku-bukunya.
“Suatu hari, orang-orang akan tau
bahwa aku itu lemah. Maafkan aku bunda. Mungkin aku tak akan sanggup menepati janjiku”
Dengan langkah yang berat aku menuju
kantor –ruang guru- Bu Nengsih tengah duduk di salah satu deretan meja khusus
guru. Aku menghampirinya,
“Berikan
ini ke orangtuamu” Ucapnya –lagi-lagi- tanpa basa-basi. Melemparkan sepucuk
surat ke arahku.
“Apa
ini bu?” Aku bertanya dengan polos
“Pemanggilan
orang tuamu, kalau sampai…” Kata-katanya terpotong oleh orang yang tak tau
sopan santun, akulah orang yang tak sopan itu.
“Tolong
batalkan” Ucapku lirih, bu Nengsih terkejut. Menatapku tak percaya. Ini pertama
kalinya aku berkata begitu tak sopan. Di lingkunganku. Guru adalah orang yang
sangat di hormati.
Dari
jauh, seseorang mengamati apa yang sedang terjadi. Tak ada yang tau siapa itu.
Sambil memegangi tas-nya, bu Nengsih berdiri,
“Orang
tuaku bercerai dan menikah lagi, sejak saat itu kehidupanku berubah. Tolong aku
bu. Aku akan menerima hukuman apapun, tapi jangan yang ini…” air mataku
mengalir. Persetan dengan ancaman Bunda!
“Aku
minta maaf ibu… Kalau nilaiku juga harus di kurangi. Itu gak apa-apa” sikap seperti ini sudah terlalu jauh. Bu
Nengsih menatapku prihatin.
“Hukuman
peraturan nomer 2 ayat 3. Masih ingat? Lakukan itu” Dan yang aku tau kemudian
adalah ia menghilang di balik pintu. Aku menghela nafas lega, menghapus air
mataku. Sebelum yang lainnya melihat.
Hukuman
nomer 2. Hukuman dalam bentuk skors dengan jangka waktu. Ayat 3, jenis
hukumannya adalah membersihkan kaca jendela. Selama seminggu penuh, sepulang
sekolah.
Bagiku,
itu lebih baik. Aku punya waktu yang lama di sekolah. Bukan tanpa alasan lagi. Aku bergegas pulang dengan motor Spacy sebelum
hujan benar-benar tuun.
Orang
yang tadi mengintip diam-diam itu menyandarkan bahunya di balik pintu, menghela
nafas panjang. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
***
“Setiap tindakan selalu punya
alasan, aku berharap. Seiring dengan usiaku. Aku bisa memahami alasan mereka
melakukan hal itu”
Ini
hari pertamaku menjalani hukuman. Aku sengaja pulang terakhir agar mereka tak
curiga –menertawakanku, membuat gossip di kantin, mengejekku- seperti itulah.
Dengan berat hati, aku mengambil satu stell lengkap alat pembersih kaca, yang
aku beli dengan sisa-sisa uang jajanku. Tanpa aba-aba seseorang mengambilnya
dari tanganku. Siapa lagi jika bukan Tyo. Ia nyengir dan berlari sebelum aku
memakinya. Pada akhirnya, aku mengalah dan mempersilahkan agar Tyo bisa
membantuku.
“Hukuman
ini terlalu sepele” Ucapnya memecahkan keheningan. Aku hanya diam saja.
“Kamu
tau… Ini hal yang tak pernah bisa aku terima, sampai kapanpun” Tyo duduk di
salah satu kursi yang sengaja berada di sana. Aku masih pura-pura sibuk dengan
debu di jendelaku.
“Jangan
pura-pura kuat, jangan juga menangis sendirian, jangan membenci mereka, jangan
pula bersikap seperti ini –tak pernah tersenyum lagi-“ _________ “Alasan. Kamu
pernah bilang ke aku mengenai hal itu, coba pikirkan. Mereka mungkin punya
alasan” Tyo melanjutkan, tanpa sedikitpun menoleh padaku.
“Tante.
Ibu kandungmu itu, memberiku tugas yang cukup akan membuatku menyesal jika tak
aku pegang dengan baik”_______ “Dia juga memintaku memberitahumu hal ini” Tyo
berdiri di sampingku, mengulurkan tangannya, mengaitkannya pada tanganku. “Jaga
Reinna baik-baik dan buat dia tersenyum. Begitulah…” Tyo memasang ekspresi lucu
yang menyedihkan, seakan hal itu baginya sangatlah berat. Aku tak bisa
menyembunyikan tawaku. Hari ini, untuk pertamakalinya dalam dua bulan terakhir,
aku kembali tertawa.
“Tuh
kan kamu ketawa” Ujar Tyo kemudian. Aku memukul lengannya pelan.
“Siapa
suruh pasang muka begituan” dalam hati aku mengatakan ‘terima kasih’ untuknya.
Aku bersyukur bertemu dengan sahabat seperti Tyo.
Tyo berbicara panjang lebar mengenai
pertemuan terakhirnya dengan ibuku. Sebulan sebelum ayah mengumumkan untuk
menikah lagi. Ibuku pergi ke luar negeri, ini seperti bentuk pelarian diri.
Lalu, ia juga menceritakan perihal Vionna.
“Jangan
membencinya” Kata Tyo serius. Aku tak bisa berjanji. Tapi mulai saat ini,
dengan pesan atau lebih tepatnya permintaan terakhir ibuku. Aku akan mencoba
memahami mereka dan berhenti menyalahkan ayahku. Dengan enggan aku mengangguk
beberapa kali. Hari itu, aku pulang bersama-sama dengan Tyo. Seperti biasa.
Dengan motor kami masing-masing.
***
“Yang aku tau dari cinta. Cinta itu… Karena
cinta kita bisa bertahan, karena di sanalah tempat kita bersandar. Saat tak ada
lagi harapan yang membuat kita bisa terus berdiri. Pikirkan tentang cinta.
Pikirkan tentang semua yang terjadi. Cinta itu…”
Ibu ‘tiri’ ku menyambut kepulanganku
dari sekolah dan berkata dengan cemas,
“Sesuatu terjadi? Akhir-akhir ini kamu selalu pulang di atas jam 5 sore” Dengan celemek yang masih rapi terpasang di tubuhnya, ia memberiku secangkir teh hangat. Mengingat janjiku, aku mengambilnya meminumnya sedikit dan langsung berlari menuju kamarku di lantai dua. Di ujung tangga Vionna menatapku dan tersenyum hangat.
“Sesuatu terjadi? Akhir-akhir ini kamu selalu pulang di atas jam 5 sore” Dengan celemek yang masih rapi terpasang di tubuhnya, ia memberiku secangkir teh hangat. Mengingat janjiku, aku mengambilnya meminumnya sedikit dan langsung berlari menuju kamarku di lantai dua. Di ujung tangga Vionna menatapku dan tersenyum hangat.
“Sudah
pulang Dik? Pasti melelahkan ya?” Sambutnya, umur kami sama, hanya saja. Ia
lebih dulu lahir di bandingkan aku. Jadi, dialah yang berstatus sebagai kakak.
“Ada
air hangat di kamar mandi. Ini musim hujan, aku khusus membuatkannya buat kamu”
Sambungnya kemudian. Aku menatap kamar mandiku dan benar saja, airnya hangat. Tanpa
berlama-lama, aku mandi di bak yang katanya –di persiapkan khusus untukku- ini.
Aku
banyak melamun, mengingat kembali yang ayah-bunda-kak Radit lakukan di masa
lalu, alasan-alasan lain, kedatangan ibu tiri-ku, Vionna, dan kata-kata Tyo
tadi sore. Adzan Magrib sudah berkumandang. Aku masih di bak mandi. Memikirkan semua
itu.
Monologue
Bunda -dalam suratnya-
“Reinna. Pertama. maafkan Bunda karena pergi begitu
saja…
Jangan benci ayahmu dan cobalah bergaul dengan
Vionna…”
Aku
mengingat-ingat kembali pertemuan pertamaku dengan Vionna. Tangannya yang
hangat, senyumnya yang tulus dan kebaikkan-kebaikkannya yang selalu di akhiri
dengan kata-kata ‘Khusus untukmu Rein’ aku tersenyum.
“Dia gadis yang baik, jika kakakmu terlalu
cuek untuk peduli denganmu. Cobalah bersandar pada kakak perempuanmu. Vionna.
Jadi, jangan membencinya. Untuk Radit. Tolong sampaikan salam bunda padanya,
suruh dia belajar yang rajin dan menepati janjinya”
Aku
mengingat kak Radit yang akhir-akhir ini jarang pulang. Aku mencoba
memakluminya. Dari kecil sampai sekarang. Kak Radit memang seperti itu, tapi
aku dan bunda tau, kak Radit punya hati yang hangat dan sensitif. Aku bertahan
selama ini karena kak Radit.
“Dan terakhir,
sampaikan salamku pada ibumu yang baru. Jaga ayahmu baik-baik ya nak. Semua
ini, kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan salah siapa-siapa. Suatu hari
kamu pasti akan mengerti. Ayahmu mencintaimu dan keluarga barunya juga
mencintainya. Mereka orang-orang yang baik. Jadi, percayalah padanya Reinna”
Aku
selesai mandi, memakai baju tidurku. Perutku lapar dan aku langsung melesat
menuju dapur. Di jalan menuju dapur. Langkahku terhenti. menatap ayahku yang
tengah tertawa di ruang keluarga. Dengan ibu ‘tiri’ ku dan Vionna di
sampingnya.
“Ayahmu bahagia kan?
Lihatlah. Hati bunda sudah tenang mengetahui kenyataan ini. Bunda juga ingin
mencari kebahagiaan sendiri. Jadi, Reinna… Lakukan hal sama. Bergabunglah
dengan mereka, tertawa bersama…”
Aku
masih merenung di tempatku, panggilan dari ibu ‘tiri’ ku membuyarkan semuanya.
“Reinna,
sudah selesai mandi? Ayo ke sini. Ayahmu punya cerita lucu” Ucap ibu ‘baru’ ku
Aku
menghampiri mereka, yang aku tau aku pasti tidak akan tersenyum atau bahkan
tertawa. Tapi aku salah. Aku tiba-tiba saja ikut tertawa mendengar cerita ayah.
Tanpa sadar, aku mulai beradaptasi dengan keluarga baru ini. Aku tak lagi
membencinya. Aku bahkan mengobrol banyak hal dengan Vionna. Bertukar rahasia
dengannya.
***
Mulai pagi ini, aku berangkat
bersama-sama dengan Vionna –berboncengan- Bahkan aku mulai sarapan masakan
ibuku. Aku selalu kemana-mana dengan Vionna. Bahkan kami juga pernah melakukan
hal paling memalukan bersama. Misalnya –mendandani muka kami, dengan make-up
berlebihan- Tyo yang menyadari aku sudah kembali menjadi Reinna yang dulu
sangat senang dan juga sedih.
“Jadi
aku gak boleh ikut?” Rengek Tyo saat tau kami akan pergi ke suatu tempat
bersama, sepulang sekolah. Dengan kompak, aku dan Vionna melarangnya.
“Tidak!”
“Kamu
kan cowo Tyo!!! Apaan. Main sama teman cowokmu sana.” Sambungku
“Agak
aneh kalau kamu ikut, kata-kata Rein ada benarnya juga” sambung Vionna
kemudian. Tyo tetap merengek minta ikut. Dia bersikeras kalau hal itu bukan
hanya khusus cewek saja. Cowok juga bisa.
Dan di sinilah kami, sepulang sekolah.
Suatu tempat yang kami maksud. “Salon”.
Tyo hanya menatap kami di salah satu kursi yang kosong dan bergumam cukup
keras. Sengaja agar dapat di dengar oleh kita berdua.
“Ya
ampun, sulitnya bersahabat dengan cewe yeah!”
Kami
cekikan, aku menoleh ke arahnya dan menjulurkan lidah. Begitulah hari-hari yang
aku lalui, aku menjalaninya dengan perasaan berbunga-bunga setiap hari. Aku
hanya berpikir, aku beruntung ^-^
“Cinta itu datang dari
hatimu. Bagaimana kamu memandang dunia dan orang-orang sekitarmu. Cinta datang
dari sana. Cinta adalah kesederhanaan. Cinta adalah pengalaman paling berharga
di dunia”
THE END
Komentar :
Ini part 2 ya. Part 1-nya di blog Nisa San. Sudah di kasih link-nya di sini [LINK] PART 1
Aku juga udah janji mau ngasih tau apa sih pesan moralnya. Gak mau berpanjang-panjang. Tadinya besok saja 'waktu' buat nge-post cerpen ini. Biar greget. Karena takut gak keburu. Berhubungan dengan aku mau ada rapat LPJ di Sekolah. Jadi deh malam ini ckck
Oke, apa pesan moralnya? Love is the moment. Ada yang tau gak kenapa kita ngasih judul itu? Aku pernah cerita -dalam postingan lain tentunya- kalau aku dan Nisa ngobrolin ide project ini tengah malem. Yang saat itu aku lagi galau keterlaluan. Gara-gara kak Lee Min Ho. Aku gak bisa move on dari drama-nya. Yang udah sebulan tamat! Pffffffft
Aku dengerin lagu ost-nya baik-baik dan simak liriknya. Karena pake bahasa Korea, otomatis aku gak akan ngerti. Jadi deh aku buka sahabat setia -a.k.a google.com- di sana aku mencoba meresapi dan apa yang ada di benak aku? Cinta. Cinta dan Cinta.
Pernah jatuh cinta? Tidak? Pasti pernahlah ya. Cinta itu rumit. Cinta itu....
Cinta bukan hanya dengan lawan jenis, cinta juga bisa dengan sesama jenis. Misal: dengan adik kita dan cerita ini mengajarkan kita bahwa cinta bisa datang dari hatinya. Sama seperti hal baik atau buruk. Cinta itu pilihan. Pilihan mengenai apakah kita mau bahagia? atau tidak mau?
Pilihlah. Akan ada selalu konsekuensinya dalam setiap pilihan. Setelahnya, biarkan apa kata Tuhan. Dia yang lebih tau, Tuhanmu. Kalau Tuhanku kan Allah.swt :*
Kembali ke topik, kita bisa membenci seseorang yang sebenarnya baik, menyayangi, dan bahkan berharap kamu tidak membencinya -minimal- seperti tokoh Rein dengan saudara tirinya -Vio- Memang Reinna punya alasan kenapa dia membenci Vionna. Tapi, apakah itu membuat Rein bahagia? Itu hanya siksaan. Pada akhirnya Rein tau itu.
Cinta bukanlah paksaan, bukan pula kesalahan. Sama seperti peristiwa perceraian orang tua Rein. Mereka dulu saling mencintai tapi kenapa sekarang harus menandatangani kata 'cerai' seperti yang Nisa San katakan. Manusia mana sih yang sempurna. "Namanya juga manusia..." ya kan?
Dan sekali lagi hal itu bukan salah cinta. Lalu berbicara mengenai cinta panjang lebar begini. Apa intinya?
Inti dari cerita ini, dalam pandangan setiap orang pasti beda-beda. Aku yakin deh. Yakin banget malahan :p
Maka, silahkan buatlah pendapat sendiri. Kita manusia sosial. Di lingkunganku, aku dididik untuk selalu punya yang namanya opini dan kritikan dalam suatu hal. Tentu saja ada batasannya. Dan tentu saja aku gak selalu harus mengatakannya. Melalui tulisan. Seperti Cerpen ini. Aku... secara tak langsung. Memberikan opini pada apa yang telah aku lalui dalam kehidupanku.
Dalam suatu sumber yang pernah aku baca. Seorang penulis tak pernah lepas dari kehidupannya. Masa kecilnya, masa lalunya, pengalamannya, dimana dia di didik, di besarkan. Tak lepas dari hal-hal begituan. Aku pikir, suatu hari nanti aku bisa membuat karya yang punya banyak kritik tersembunyi di dalamnya. Terima Kasih. Dan sekian.
NB : Ngomong-ngomong gambarnya (cover) itu bagus gak? asal pilih pffffft dan aku gak baca ulang nih, kalau ada yang typo maklumi sajalah kekeke ^-^
No comments:
Post a Comment
Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.
- Kutunggu komentarmu.