Wednesday, January 1, 2014

[CERPEN] LOVE IS THE MOMENT Part 2

Love is the Moment
(Part 2)


A cerpen by Annida Sholihah dan Annisa Aprilia

“Bisakah waktu berhenti saat ini juga? Aku menyesal pada semua yang terjadi di hidupku. Lalu, ini salah siapa?”

Aku berlari sejauh yang aku bisa, berusaha sebaik mungkin agar tidak menangis, air mataku hampir tumpah. Kata-kata ibuku –ibu kandungku- selalu tergiang-giang begitu saja, menerobos masuk ke dalam pikiranku.
‘Jangan lemah Reinna. Kamu bukanlah gadis lemah, kalau bunda sampai melihatmu menangis lagi. Jangan harap mendapat belas kasihan’
Aku menghela nafas kesal, menghapus sisa-sisa air mata yang terlanjur membasahi pipiku tanpa permisi. Dengan langkah yang mantap aku berbelok arah. Terkejut, tak menyadari aku telah berlari sejauh ini. Pelajaran ke-empat pasti sudah di mulai. Aku mempercepat langkah. Berharap waktunya belum terlambat.
“Sial” umpatku dengan nafas terengah. Aku menatap pintu ruang kelas yang tertutup rapat. Pelajaran ke-empat sudah di mulai. Bu Nengsih akan memberiku hukuman yang mungkin tak akan sanggup aku penuhi.
Aku mengetuk pintu. Tertawa samar menatap ekspresi guru Sejarahku. Tak ada yang lebih memalukan dari pada berdiri di depan kelas dan di marahi habis-habisan. Tapi pada akhirnya,
“Ke kantor setelah pulang sekolah Reinna! Jangan harap kamu akan lulus pelajaran ibu jika kabur lagi” Ucapnya langsung pada topik. Aku hanya bisa menghela nafas menahan air mataku keluar -lagi-
Ingin aku menjawabnya “ya” tapi sudahlah. Aku tak akan mampu, yang bisa aku lakukan hanya menunduk. Bu Nengsih mempersilahkann aku agar duduk. Sisa pelajaran hari itu, aku tak bisa fokus. Sialan!
            Di ujung ruang kelas. Bangku kedua dekat jendela dan meja guru. Tyo diam-diam memperhatikanku. Menatapku dengan prihatin. Begitu juga dengan anak-anak yang lain. Aku tak peduli dengan tatapan itu, pikiranku sudah rued sejak dua bulan belakangan ini. Bahkan untuk sekedar mempersiapkan diri dengan hukuman ‘pulang sekolah’ saja sudah membuatku mual.
 Pada akhirnya bel pulang berbunyi. Seseorang menghampiri mejaku.
“Hey Na. Mau aku temenin ke kantor?” Ucap Tyo menawari. Ada nada bercanda dari cara bicaranya, tapi aku yakin dia tak sedang bercanda. Lebih ke arah cemas. Mungkin.
Aku menatapnya sinis. Tyo merupakan sahabatku sejak SMP. Tiada hari tanpa Tyo. Dan rasanya akan membosankan jika tak bertemu dengannya. Sejak orang tuaku bercerai, ayahku menikah lagi dan kedatangan Vionna di kehidupanku, di keluargaku. Semuanya berubah. Aku berfikir sepanjang sisa pelajaran hari ini dan membuat kesimpulan ‘mungkin ini salah ayah dan bunda’. -kembali ke dunia nyata- aku mengangkat bahu, meninggalkan Tyo begitu saja, sebelum melewati pintu aku menatap Vionna sejenak, ia tengah merapikan buku-bukunya.

“Suatu hari, orang-orang akan tau bahwa aku itu lemah. Maafkan aku bunda. Mungkin aku tak akan  sanggup menepati janjiku”

            Dengan langkah yang berat aku menuju kantor –ruang guru- Bu Nengsih tengah duduk di salah satu deretan meja khusus guru. Aku menghampirinya,
“Berikan ini ke orangtuamu” Ucapnya –lagi-lagi- tanpa basa-basi. Melemparkan sepucuk surat ke arahku.
“Apa ini bu?” Aku bertanya dengan polos
“Pemanggilan orang tuamu, kalau sampai…” Kata-katanya terpotong oleh orang yang tak tau sopan santun, akulah orang yang tak sopan itu.
“Tolong batalkan” Ucapku lirih, bu Nengsih terkejut. Menatapku tak percaya. Ini pertama kalinya aku berkata begitu tak sopan. Di lingkunganku. Guru adalah orang yang sangat di hormati.
Dari jauh, seseorang mengamati apa yang sedang terjadi. Tak ada yang tau siapa itu. Sambil memegangi tas-nya, bu Nengsih berdiri,
“Orang tuaku bercerai dan menikah lagi, sejak saat itu kehidupanku berubah. Tolong aku bu. Aku akan menerima hukuman apapun, tapi jangan yang ini…” air mataku mengalir. Persetan dengan ancaman Bunda!
“Aku minta maaf ibu… Kalau nilaiku juga harus di kurangi. Itu gak apa-apa”  sikap seperti ini sudah terlalu jauh. Bu Nengsih menatapku prihatin.
“Hukuman peraturan nomer 2 ayat 3. Masih ingat? Lakukan itu” Dan yang aku tau kemudian adalah ia menghilang di balik pintu. Aku menghela nafas lega, menghapus air mataku. Sebelum yang lainnya melihat.
Hukuman nomer 2. Hukuman dalam bentuk skors dengan jangka waktu. Ayat 3, jenis hukumannya adalah membersihkan kaca jendela. Selama seminggu penuh, sepulang sekolah.
Bagiku, itu lebih baik. Aku punya waktu yang lama di sekolah. Bukan tanpa alasan lagi.  Aku bergegas pulang dengan motor Spacy sebelum hujan benar-benar tuun.
Orang yang tadi mengintip diam-diam itu menyandarkan bahunya di balik pintu, menghela nafas panjang. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
***
“Setiap tindakan selalu punya alasan, aku berharap. Seiring dengan usiaku. Aku bisa memahami alasan mereka melakukan hal itu”

Ini hari pertamaku menjalani hukuman. Aku sengaja pulang terakhir agar mereka tak curiga –menertawakanku, membuat gossip di kantin, mengejekku- seperti itulah. Dengan berat hati, aku mengambil satu stell lengkap alat pembersih kaca, yang aku beli dengan sisa-sisa uang jajanku. Tanpa aba-aba seseorang mengambilnya dari tanganku. Siapa lagi jika bukan Tyo. Ia nyengir dan berlari sebelum aku memakinya. Pada akhirnya, aku mengalah dan mempersilahkan agar Tyo bisa membantuku.
“Hukuman ini terlalu sepele” Ucapnya memecahkan keheningan. Aku hanya diam saja.
“Kamu tau… Ini hal yang tak pernah bisa aku terima, sampai kapanpun” Tyo duduk di salah satu kursi yang sengaja berada di sana. Aku masih pura-pura sibuk dengan debu di jendelaku.
“Jangan pura-pura kuat, jangan juga menangis sendirian, jangan membenci mereka, jangan pula bersikap seperti ini –tak pernah tersenyum lagi-“ _________ “Alasan. Kamu pernah bilang ke aku mengenai hal itu, coba pikirkan. Mereka mungkin punya alasan” Tyo melanjutkan, tanpa sedikitpun menoleh padaku.
“Tante. Ibu kandungmu itu, memberiku tugas yang cukup akan membuatku menyesal jika tak aku pegang dengan baik”_______ “Dia juga memintaku memberitahumu hal ini” Tyo berdiri di sampingku, mengulurkan tangannya, mengaitkannya pada tanganku. “Jaga Reinna baik-baik dan buat dia tersenyum. Begitulah…” Tyo memasang ekspresi lucu yang menyedihkan, seakan hal itu baginya sangatlah berat. Aku tak bisa menyembunyikan tawaku. Hari ini, untuk pertamakalinya dalam dua bulan terakhir, aku kembali tertawa.
“Tuh kan kamu ketawa” Ujar Tyo kemudian. Aku memukul lengannya pelan.
“Siapa suruh pasang muka begituan” dalam hati aku mengatakan ‘terima kasih’ untuknya. Aku bersyukur bertemu dengan sahabat seperti Tyo.
            Tyo berbicara panjang lebar mengenai pertemuan terakhirnya dengan ibuku. Sebulan sebelum ayah mengumumkan untuk menikah lagi. Ibuku pergi ke luar negeri, ini seperti bentuk pelarian diri. Lalu, ia juga menceritakan perihal Vionna.
“Jangan membencinya” Kata Tyo serius. Aku tak bisa berjanji. Tapi mulai saat ini, dengan pesan atau lebih tepatnya permintaan terakhir ibuku. Aku akan mencoba memahami mereka dan berhenti menyalahkan ayahku. Dengan enggan aku mengangguk beberapa kali. Hari itu, aku pulang bersama-sama dengan Tyo. Seperti biasa. Dengan motor kami masing-masing.
***
 “Yang aku tau dari cinta. Cinta itu… Karena cinta kita bisa bertahan, karena di sanalah tempat kita bersandar. Saat tak ada lagi harapan yang membuat kita bisa terus berdiri. Pikirkan tentang cinta. Pikirkan tentang semua yang terjadi. Cinta itu…”

          Ibu ‘tiri’ ku menyambut kepulanganku dari sekolah dan berkata dengan cemas,
“Sesuatu terjadi? Akhir-akhir ini kamu selalu pulang di atas jam 5 sore” Dengan celemek yang masih rapi terpasang di tubuhnya, ia memberiku secangkir teh hangat. Mengingat janjiku, aku mengambilnya meminumnya sedikit dan langsung berlari menuju kamarku di lantai dua. Di ujung tangga Vionna menatapku dan tersenyum hangat.
“Sudah pulang Dik? Pasti melelahkan ya?” Sambutnya, umur kami sama, hanya saja. Ia lebih dulu lahir di bandingkan aku. Jadi, dialah yang berstatus sebagai kakak.
“Ada air hangat di kamar mandi. Ini musim hujan, aku khusus membuatkannya buat kamu” Sambungnya kemudian. Aku menatap kamar mandiku dan benar saja, airnya hangat. Tanpa berlama-lama, aku mandi di bak yang katanya –di persiapkan khusus untukku- ini.
Aku banyak melamun, mengingat kembali yang ayah-bunda-kak Radit lakukan di masa lalu, alasan-alasan lain, kedatangan ibu tiri-ku, Vionna, dan kata-kata Tyo tadi sore. Adzan Magrib sudah berkumandang. Aku masih di bak mandi. Memikirkan semua itu.

Monologue Bunda  -dalam suratnya-
“Reinna.  Pertama. maafkan Bunda karena pergi begitu saja…
Jangan  benci ayahmu dan cobalah bergaul dengan Vionna…”
Aku mengingat-ingat kembali pertemuan pertamaku dengan Vionna. Tangannya yang hangat, senyumnya yang tulus dan kebaikkan-kebaikkannya yang selalu di akhiri dengan kata-kata ‘Khusus untukmu Rein’ aku tersenyum.
 “Dia gadis yang baik, jika kakakmu terlalu cuek untuk peduli denganmu. Cobalah bersandar pada kakak perempuanmu. Vionna. Jadi, jangan membencinya. Untuk Radit. Tolong sampaikan salam bunda padanya, suruh dia belajar yang rajin dan menepati janjinya”
Aku mengingat kak Radit yang akhir-akhir ini jarang pulang. Aku mencoba memakluminya. Dari kecil sampai sekarang. Kak Radit memang seperti itu, tapi aku dan bunda tau, kak Radit punya hati yang hangat dan sensitif. Aku bertahan selama ini karena kak Radit.
“Dan terakhir, sampaikan salamku pada ibumu yang baru. Jaga ayahmu baik-baik ya nak. Semua ini, kesalahan yang sudah kita lakukan. Bukan salah siapa-siapa. Suatu hari kamu pasti akan mengerti. Ayahmu mencintaimu dan keluarga barunya juga mencintainya. Mereka orang-orang yang baik. Jadi, percayalah padanya Reinna”
Aku selesai mandi, memakai baju tidurku. Perutku lapar dan aku langsung melesat menuju dapur. Di jalan menuju dapur. Langkahku terhenti. menatap ayahku yang tengah tertawa di ruang keluarga. Dengan ibu ‘tiri’ ku dan Vionna di sampingnya.
“Ayahmu bahagia kan? Lihatlah. Hati bunda sudah tenang mengetahui kenyataan ini. Bunda juga ingin mencari kebahagiaan sendiri. Jadi, Reinna… Lakukan hal sama. Bergabunglah dengan mereka, tertawa bersama…”
Aku masih merenung di tempatku, panggilan dari ibu ‘tiri’ ku membuyarkan semuanya.
“Reinna, sudah selesai mandi? Ayo ke sini. Ayahmu punya cerita lucu”  Ucap ibu ‘baru’ ku
Aku menghampiri mereka, yang aku tau aku pasti tidak akan tersenyum atau bahkan tertawa. Tapi aku salah. Aku tiba-tiba saja ikut tertawa mendengar cerita ayah. Tanpa sadar, aku mulai beradaptasi dengan keluarga baru ini. Aku tak lagi membencinya. Aku bahkan mengobrol banyak hal dengan Vionna. Bertukar rahasia dengannya.
***
          Mulai pagi ini, aku berangkat bersama-sama dengan Vionna –berboncengan- Bahkan aku mulai sarapan masakan ibuku. Aku selalu kemana-mana dengan Vionna. Bahkan kami juga pernah melakukan hal paling memalukan bersama. Misalnya –mendandani muka kami, dengan make-up berlebihan- Tyo yang menyadari aku sudah kembali menjadi Reinna yang dulu sangat senang dan juga sedih.
“Jadi aku gak boleh ikut?” Rengek Tyo saat tau kami akan pergi ke suatu tempat bersama, sepulang sekolah. Dengan kompak, aku dan Vionna melarangnya.
“Tidak!”
“Kamu kan cowo Tyo!!! Apaan. Main sama teman cowokmu sana.” Sambungku
“Agak aneh kalau kamu ikut, kata-kata Rein ada benarnya juga” sambung Vionna kemudian. Tyo tetap merengek minta ikut. Dia bersikeras kalau hal itu bukan hanya khusus cewek saja. Cowok juga bisa.
          Dan di sinilah kami, sepulang sekolah. Suatu tempat yang kami maksud. “Salon”. Tyo hanya menatap kami di salah satu kursi yang kosong dan bergumam cukup keras. Sengaja agar dapat di dengar oleh kita berdua.
“Ya ampun, sulitnya bersahabat dengan cewe yeah!”
Kami cekikan, aku menoleh ke arahnya dan menjulurkan lidah. Begitulah hari-hari yang aku lalui, aku menjalaninya dengan perasaan berbunga-bunga setiap hari. Aku hanya berpikir, aku beruntung ^-^

“Cinta itu datang dari hatimu. Bagaimana kamu memandang dunia dan orang-orang sekitarmu. Cinta datang dari sana. Cinta adalah kesederhanaan. Cinta adalah pengalaman paling berharga di dunia”

THE END

Komentar : 

Ini part 2 ya. Part 1-nya di blog Nisa San. Sudah di kasih link-nya di sini [LINK] PART 1
Aku juga udah janji mau ngasih tau apa sih pesan moralnya. Gak mau berpanjang-panjang. Tadinya besok saja 'waktu' buat nge-post cerpen ini. Biar greget. Karena takut gak keburu. Berhubungan dengan aku mau ada rapat LPJ di Sekolah. Jadi deh malam ini ckck 

Oke, apa pesan moralnya? Love is the moment. Ada yang tau gak kenapa kita ngasih judul itu? Aku pernah cerita -dalam postingan lain tentunya- kalau aku dan Nisa ngobrolin ide project ini tengah malem. Yang saat itu aku lagi galau keterlaluan. Gara-gara kak Lee Min Ho. Aku gak bisa move on dari drama-nya. Yang udah sebulan tamat! Pffffffft

Aku dengerin lagu ost-nya baik-baik dan simak liriknya. Karena pake bahasa Korea, otomatis aku gak akan ngerti. Jadi deh aku buka sahabat setia -a.k.a google.com- di sana aku mencoba meresapi dan apa yang ada di benak aku? Cinta. Cinta dan Cinta. 

Pernah jatuh cinta? Tidak? Pasti pernahlah ya. Cinta itu rumit. Cinta itu.... 
Cinta bukan hanya dengan lawan jenis, cinta juga bisa dengan sesama jenis. Misal: dengan adik kita dan cerita ini mengajarkan kita bahwa cinta bisa datang dari hatinya. Sama seperti hal baik atau buruk. Cinta itu pilihan. Pilihan mengenai apakah kita mau bahagia? atau tidak mau?

Pilihlah. Akan ada selalu konsekuensinya dalam setiap pilihan. Setelahnya, biarkan apa kata Tuhan. Dia yang lebih tau, Tuhanmu. Kalau Tuhanku kan Allah.swt :* 
Kembali ke topik, kita bisa membenci seseorang yang sebenarnya baik, menyayangi, dan bahkan berharap kamu tidak membencinya -minimal- seperti tokoh Rein dengan saudara tirinya -Vio- Memang Reinna punya alasan kenapa dia membenci Vionna. Tapi, apakah itu membuat Rein bahagia? Itu hanya siksaan. Pada akhirnya Rein tau itu.

Cinta bukanlah paksaan, bukan pula kesalahan. Sama seperti peristiwa perceraian orang tua Rein. Mereka dulu saling mencintai tapi kenapa sekarang harus menandatangani kata 'cerai' seperti yang Nisa San katakan. Manusia mana sih yang sempurna. "Namanya juga manusia..." ya kan? 

Dan sekali lagi hal itu bukan salah cinta. Lalu berbicara mengenai cinta panjang lebar begini. Apa intinya? 
Inti dari cerita ini, dalam pandangan setiap orang pasti beda-beda. Aku yakin deh. Yakin banget malahan :p 
Maka, silahkan buatlah pendapat sendiri. Kita manusia sosial. Di lingkunganku, aku dididik untuk selalu punya yang namanya opini dan kritikan dalam suatu hal. Tentu saja ada batasannya. Dan tentu saja aku gak selalu harus mengatakannya. Melalui tulisan. Seperti Cerpen ini. Aku... secara tak langsung. Memberikan opini pada apa yang telah aku lalui dalam kehidupanku. 

Dalam suatu sumber yang pernah aku baca. Seorang penulis tak pernah lepas dari kehidupannya. Masa kecilnya, masa lalunya, pengalamannya, dimana dia di didik, di besarkan. Tak lepas dari hal-hal begituan. Aku pikir, suatu hari nanti aku bisa membuat karya yang punya banyak kritik tersembunyi di dalamnya. Terima Kasih. Dan sekian.


NB : Ngomong-ngomong gambarnya (cover) itu bagus gak? asal pilih pffffft dan aku gak baca ulang nih, kalau ada yang typo maklumi sajalah kekeke ^-^ 

No comments:

Post a Comment

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.