“I Love You. But…”
(Part 2)
(Part 2)
A Cerpen by Annida Sholihah
A story inspiration by Ibu Siti Khodijah
Flashback ke belakang :
Rian
berlari di sekitar komplek dan menerobos masuk ke kamar Arif begitu saja. Saat
Rian tengah mengatur nafasnya sebelum mengatakan sesuatu, Arif melongo penuh
tanda tanya.
“Gawat
bung, gadis yang kamu sukai itu…” Ia masih terlihat tengah mengatur nafasnya
“Aaaah
lupakan saja diaa” Ucap Arif memahami topik pembicaraan.
“Gabisa.
Gabisa, bung! Sadarlah. Dia bisa di ambil orang”
“Terus?”
Dengan sikap yang tak peduli, Arif kembali fokus pada lembaran milik Reki yang
tadi siang dia lupakan. Diam-diam ia menyesal kenapa tadi tak mengunci pintu
kamarnya.
“Aaaah,
gossip itu, sudah tau belum, bung?” ______ “Si cowo itu, katanya dia akan
‘menembak’ Sinta! Gak akan saya biarkan!”
Arif
terkejut, buktinya ujung pensil yang tengah di gunakan itu patah. Pensil yang
malang…
“Apaaa?”
“Tulis
surat saja! Itu ide yang baik. Dari pada mengatakannya duluan? Aaaah ya ampun
mana berani bung?” Cerocos Rian sok tau, tapi memang benar. Kenyataan berkata
begitu.
Arif
tampak berpikir. Lalu hanya mengatakan,
“Serius?”
Tanyanya
“Huh?”
Si cowo polos –Rian- kebingungan “Dua rius bung! Saya denger sendiri!” pffft
“Eheh.
Bukan itu, surat. Maksudnya suratnya, bodoh!” Mau tak mau, Arif harus mengetok
dahi Rian setidaknya sekali.
“Ampunlah
bung. Cepat buat suratnya sekarang. Tak harus saya yang membuatnya kan?” Ucapnya,
khas Rian sekali. Arif hanya menatap sahabatnya kesal, campur geli. Ia mulai
mengambil alat-alat tulis, kertas A4 dan mulai menuliskan kata-kata puitis. Sambil
menghela nafas lega, Arif menutup pulpen hitam yang lebih mirip spidol
tebalnya. Belum apa-apa Rian sudah kabur, dengan surat yang baru saja Arif
tulis.
“Rian!!!!!!!!”
Teriak Arif membahana.
Flashback End.
Rian
terkikik geli, apalagi saat tau sahabatnya ini lebih memilih memanggil Nana. Seharusnya
kan…
“Diem
di tempat!” Ancam Arif
Nana
semakin dekat, ia tersenyum lebar-lebar. Beberapa gadis saling berbisik-bisik.
Dan beberapa anak laki-laki saling suit “Cieeeeeeee
cieee” atau “Waw! Nana sang fotogenic
di panggil Panggeran es !” atau “Ayo
Nana, ekhmmm” seperti itulah…
Gadis-gadis
mulai sirik dan saling sindir, beberapa tak tahan dan merasa envy. Parahnya,
ada yang menangis begitu saja saking shock-nya.
Arif
stay cool, tetap tenang dalam situasi seperti ini. Ia sudah kebal. Tampaknya.
“Nih!
Buat sahabatmu, berikan ya” Ucap Arif pelan tanpa basa-basi. Saat Nana masih di
dunia fantasinya. Spontan Nana terkejut. Ia masih kebingungan.
“Jangan
tanya dua kali, please?” Ucap Arif, untuk yang kedua kalinya.
Menahan
malu sekaligus kesal, Nana tertawa. Tapi tetap menerima surat-nya. Ia berlari
kecil menuju tempat dimana Sinta duduk. Menatapnya kecewa.
“Nih”
Nana menyodorkan kertas A4 itu dengan paksa “Buat kamu, ternyata. Sinta”
Sambungnya penuh nada kekecewaan. Ia segera berlari. Tak mau orang lain tau
bahwa ia hampir saja menangis. Sinta mengerti, cukup dewasa untuk tidak
mengejarnya. Terutama untuk menghindari kecurigaan orang lain. Gadis-gadis
mulai berbisik, semakin seru. Yang laki-laki penasaran. “Bung, si Arif itu bicara apaan sih?”, “Woaaah, Envy sekali”, “Pangeran
es bicara dengan perempuan?” “Eeeebuset, kayaknya si Nana kaget gitu ya?”
Dalam
sekejab, gossip itu beredar luas. Ada yang bilang, bahwa gossip bisa beredar
lebih cepat daripada angin. Benarkah?
Nana terisak di ujung bagunan tua
sekolah yang sepi. Sedangkan di tempat lain. Terlihat Sinta yang tengah diliput
rasa penasaran berlari ke arah yang berlawanan. Arif sekilas menatap kepergian
Nana dan Sinta bersamaan, merasa sedikit bersalah. Kemudian ia meninggalkan
tempat itu di ikuti Rian dkk. Acara gossip-gossip, menjerit, dan saling
bisik-bisik akhirnya bubar.
Nana
mengambil sesuatu dalam tas-nya, Sinta membuka sebuah pintu dan Arif memikirkan
tindakannya tadi yang sangat keterlaluan –terutama untuk Nana- Di sampingnya,
Rian ngoceh tak karuan bak burung beo.
Beralih
kembali ke Sinta. Ia membuka kertas putih A4 yang tadi di berikan Nana, yang ia
tau, Nana terlihat sangat marah saat memberikan ini padanya. Ia membukanya dan
memasang ekspresi terkejut yang aneh. Rasanya, dunia hampir kiamat.
“Apa-apaan…”
Kata-katanya mengambang. Isinya benar-benar mengejutkan. Sinta mencoba
mengejanya sekali lagi,
“Wangi
melati… Itu pasti kau. Jepit kupu-kupu, itu pasti kau juga… Bolehkan aku
berkenalan denganmu?” Sinta tertawa, di kamar mandi. Seorang diri. “Penggirim:
Arif. Panggeran es yang pengecut?” Sambungnya, kemudian. Sinta sedikit mengerti
kenapa tadi Nana menangis. Aaaaah ya ampun. Kekanak-kanakkan. Seniornya
benar-benar kekanak-kanakkan. Sinta segera berlari, ke tempat dimana Nana
selalu berada jika ingin sendiri. Gedung tua.
“Sinta?”
Tanya Nana, terkejut dengan kedatangan sahabatnya. Ia segera menghapus sisa air
mata dan memeluk Sinta begitu saja.
“Maafin
saya Na” Nana menggeleng.
“Ituuu…
tadi Cuma memalukan, tapi lucu sekali. Dasar aneh” Umpat Nana kemudian, Sinta
tersenyum. Ia memberitahu Nana apa isi suratnya, dan berpikir haruskah ia
membalasnya? Sepanjang hari itu, Nana selalu menggodanya. Nana adalah sahabat
yang paling mengerti Sinta. Luar-dalam.
“Sudah
saya bilang, kalian saling suka. Ya kan? Yaelah jangan bohongin saya lagi” Ucap
Nana, di perjalanan pulang mereka.
***
Hari-hari
berikutnya, Sinta dan Arif lebih sering berkirim surat. 5 kali dalam sehari.
Walaupun mereka tetanggaan. Entahlah, kenapa tidak langsung ketemuan? Bagi
kita, ada alat yang namanya HP. Internet. Social Media. Tapi saat itu, surat
lebih ‘wah’ begitulaaah…
Mau
Arif ataupun Sinta sama-sama setuju untuk tak bertatap muka secara langsung.
Mendekati ujian, Arif jarang sekali terlihat. Bahkan sama sekali sulit di
hubungi. Kebiasaan berkirim surat dari 5 kali, menjadi 2 atau bahkan sekali
dalam sehari. Lucunya, setiap surat A4. Tak pernah sekalipun mereka menulis
lebih dari 50 kata.
“Boleh
sajalah. Saya Sinta. Kamu Arif? Itu perkenalan yang bagus”
“Terima
Kasih. Lucu kan? Oh yaa”
“Ya
begitulah. Nana menangis”
“Sampaikan.
Salam. Untuk Nana”
“Oke. Akan
saya sampaikan”
“Terima kasih
banyak wangi melati”
Dan
begitulah. Kadang-kadang Arif berpuitis. Menceritakan kehidupan sehari-harinya.
Berkeluh kesah. Memberi semangat. Membosankan.
Di hari terakhir setelah pengumuman universitas.
Arif menemui Sinta, di rumahnya. Ibunyalah yang menemukan Arif berdiri –galau-
antara mau masuk atau tidak ke dalam dan mengetuk pintu. Hampir saja ia pergi
jika tak mendengar suara itu.
“Mas
Arif?” sapa ibu Sinta ramah. Arif terdiam, hanya senyum kecil yang tampak di
ekspresinya.
“Ayo
masuk” Ajaknya. Arif masih diam.
Ibunya
membawa Arif ke ruang tamu, sudah duduk manis di salah satu kursi kebersaran
milik ayah Sinta. Dan orang itu, ayah Sinta. Arif meringis. Selagi ibu Sinta
memanggil anaknya. Ayah Sinta melempar berbagai jenis pertanyaan ke arahnya.
“Berapa umurmu?”
“Kau kelas 12 kan?
Lanjut kemana?”
“Apa hubunganmu dengan
anakku?”
Arif
melongo. Posisi dan cara duduknya sudah mirip puteri bukan panggeran. Saking
groginya. Ayah Sinta tertawa, sebelum mengucapkan kata selanjutnya,
“Baiklah.
Maafkan ayahmu ini nak. Hahaha”
Akhirnya
Sinta mucul dan tersenyum tipis, menariknya keluar, sebelum ayahnya menge-bom
berbagai pertanyaan lainnya (lagi)
“Kirim
surat saja, lalu kita bisa janjian jam berapa dan dimana kan?” Ucap Sinta
mengawali. Arif mengangguk pasrah.
“Ituuu…
kuliah. Ah, pamit” Ucap Arif kemudian. Tergagap. Lebih karena tak mampu
mengatakannya. Sinta tetap tenang, hatinya berdebar.
Sejak
masa-masa berkirim surat –yang yah, telah berjalan selama kurang lebih tiga
bulan- Dia tau, suatu hari nanti Arif pasti akan meninggalkannya. Pergi ke
kehidupan lain di luar Kota. Sinta tersenyum, walaupun senyum itu terkesan di
buat-buat.
“Besok.
Aku dan yang lain. Di lapangan. Datang ya” Ucapnya pelan, hampir tak terdegar.
Sinta mengangguk. Masih memaksakan senyumnya. Berharap Arif mengatakan hal lain, yang lebih dari sekedar itu-itu saja.
“Well,
aku akan datang. Janji. Selamat ya” Akhirnya mereka berpisah untuk sisa hari
ini. Sama-sama tak rela.
Beberapa
saat yang lalu, Arif sudah memberitahu Sinta perihal rencana kuliahnya di
Bandung. Dan Rian di Bogor. Surat tanda bahwa dia lolos seleksi juga sudah
tiba. Ia akan pamit secara langsung. Nanti.
***
Pagi yang cerah, Sinta mengenakan
setelan favoritnya. Kemeja putih polos, syal kuning, jepitan kupu-kupu, dan
celana yang di pakai di pinggang. Ia berlari keluar, Nana dan dua temannya yang
lain sudah menunggunya di tempat biasa. Mereka segera berlari ke lapangan. Tak
mau telat, tak mau ketinggalan moment penting seperti ini. Setiap tahun. Di
lingkungan mereka, pada bulan yang sama. Selalu ada perpisahan yang secara
khusus di tunjukkan untuk para remaja kelas 12 SLTA yang lulus dan di terima di
perguruan negeri luar kota. Dari jauh, Arif menyadari kedatangan Sinta dan
melambai-lambai penuh arti. Ia mendekat.
“Simpan
ini, sampai saya menyusul kamu tahun depan” Ujar Sinta, melepaskan syal kuning
yang melilit lehernya. Arif tersenyum.
“Ini
hanya Bandung. Masih satu provinsi dengan Serang. Jangan khawatir” Ia tersenyum
menenangkan “Saya sudah mengirim semua bekas soal-soal masuk PTN ke rumahmu. Belajar
yang rajin ya adik cantik” Arif mengusap rambut Sinta lembut dan pamit. Ia
melambaikan tangannya. Hubungan mereka… Sangat aneh. Bagaikan kakak-adik. Siapa
tau, diam-diam mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Di
samping Sinta. Nana terisak. Rian mendekatinya dengan malu-malu. Sekotak
persegi berbalut bungkus Koran bekas di tangannya berpindah, berada di tangan
Nana.
“Sampai
jumpa. Jaga diri baik-baik kalian!” Ia tersenyum. Lebih kepada segerombolan
gadis-gadis yang menjadi adik kelas di sekolahnya.
“Hey
Nana, jaga itu ya. Kita akan ketemu lagi. Dah” Ucap Rian, sebelum masuk ke
dalam mobil tua milik pak RT.
***
Sinta
kembali ke kamarnya dengan ekspresi kelelahan, tanpa semangat. Ibunya
mengingatkan dia ada suatu paket hadiah dari anak yang kemarin sore berkunjung.
Ia membukanya. Ada sebuah hadiah dan surat di dalamnya. Kertas A4. Lipatan yang
sama. Dan tulisan tangan yang sama. Bahkan isinya tampak sama. Padat, singkat,
jelas.
“Sinta…
Maaf. Berlajar yang rajin ya. Jangan lupakan janji itu. Aku” Tulisan itu di
tulis dengan huruf yang rapi. Memenuhi seluruh tempat dalam kertas A4 “Tidak.
Nanti saja. Lain kali. Sampai Jumpa. Tahun Depan. A”
Sinta
tertawa, ia bergumam sendiri “Dasar pengecut” ia masih tertawa. Jelas-jelas,
ada sesuatu yang lebih dari persahabatan diantara mereka, lebih dari sekadar hubungan kakak-adik. Sinta memilih diam. Karena ini
menarik.
THE END
Komentar :
Well, nulis cerpen ini hampir memakan waktu 2 hari. 4 jam penuh. Masing-masing 2 jam/hari. kekeke
Entahlah, maksud dari ceritanya apa ya? Tadinya sih, gak begini endingnya. Ujung-ujungnya? Kok begini? Gak tau kenapa. Benar-benar jadi kehilangan sentuhan deh. Ya kan? pffft
Mengenai, a inspiration, Bu Siti Khodijah. Dia itu Guru Sejarah di sekolah aku, sekaligus pembina PMR -Eskul tercinta- dan kebetulan, selesai rapat LPJ kemarin. Aku dan Aini ke rumahnya bu Siti. Niatnya sih pengin dengar sarannya. Yang berujung pada 'curhat' panjang*lebar khas bu Siti banget hahah XD
Dengan senang hati kita denger-in. Awalnya terkesan buang-buang waktu. Yang pada akhirnya kita terbuai dan sungguh takjub dengan cerita tersebut. Kenapa? Karena suana sudah mendekati kata 'sore' kita gak mau kan pulang sore banget, apalagi malem? Bisa-bisa di cincang sama mamah aku nih )_( Yang ujung-ujungnya kita pulang pas magrib sudah bergema dan kelupaan buat sholat ashar LoL
Bahkan Aini yang tak suka baca novel, tak suka cerita begituan, yang hambar dan mirip sinetron. Akhirnya berkomentar "Gue sampe kebayang-bayang nih" Yaelah Ai ckckck Hebat kan?
Sejujurnya. Versi asli cerita bu Siti jauh lebih panjang. Penuh flashback, penuh konflik dan ada kehadiran tokoh 'cewe kedua' yang psikopat dan obsesi dengan cinta. Dan cerpen di atas bukan murni cerita-nya bu Siti dalam kehidupan nyata. Itu hanyalah inspirasi. Dengan sosok, kehidupan, karakter. Semacam itu.
Jadi. Jauh beda. Dan JANGAN di samakan. Oke sekian.
Terima Kasih banyak buat Bu Siti Khodijah, Aini Sabila dan para pembaca. Dan terakhir, lebih baik beri komentar buat perkembangan selanjutnya ya. Love!
Kurang panjang :D :D
ReplyDelete