Thursday, January 2, 2014

[EPILOG] NOTHING TO FEAR

Catatan : Ini hanyalah iseng -terakhir kali- sebelum masuk sekolah dan sibuk. Aku membuat Epilog untuk novel yang baru saja aku baca, berjudul "Nothing to Fear" yang artinya sama seperti jangan pernah untuk takut atau barangkali artinya adalah 'tak perlu takut'. 
Nah, udah pernah baca belum novel ini? Kalau udah pasti seru deh, baca postingan aku. Kalau belum. Mendingan ke perpustakaan setempat atau pinjem ke temen yang punya atau bisa juga beli di toko buku, online dan yang terakhir. Pinjem aja sama pemilik akun ini nih @NisaPrilia -terutama yang sekolahnya di CJ- 

Karena Ending yang kurang greget dan tak ada Epilog di akhir cerita, maka dari itu aku buat aja deh. Biar greget. Biar wah, biarkanlah segalanya. Untuk penulis aslinya Matthew d'ancona : Yang aku tau, dia pasti gak akan mengerti bahasa tulisan aku ini, karena beda generasi atau karena kita beda Negara, bahasa dan budaya. Mungkin saja. Tapi, aku tetap akan mengatakan "Maafkan aku om, aku terlalu gak tega sama mereka -tokoh-tokohnya" hahaha. Yuk, langsung aja ^-^ 


Tokoh-tokoh: 
Ginny Clark : Sang penulis, yang baru saja cerai dengan suaminya. Tak punya anak -di kabarkan mandul- nyatanya tidak, periang, cerewet dan suka hal-hal aneh. Kehidupannya hancur setelah insiden itu -rusaknya pernikahan- dengan berakhir perceraian dan saling membenci satu sama lain. Ibunya telah lama meninggal, tinggal bersama ayahnya. Karena tak mau terus-menerus menjadi seorang 'putri' di bawah naungan ayahnya. Ginny mencari pencerahan baru dengan membeli rumah sendiri.

Sean Meadows -Robbert- : Cowok misterius, penuh dengan luka masa lalu, pemalu, pendiam, aneh, suka melukis dan tak punya teman atau bahkan kenalan -siapapun- karena sosoknya yang berbeda. Ia baik hati, tak banyak orang yang tau tentangnya, masih muda -lebih muda dari Ginny- sikapnya dingin dan kaku, sedikit paranoid. Ginny memandangnya dengan istimewa dan ingin menjadi temannya. 

Harry Benson : Mantan suami Ginny -yang baru di sadari- bahwa dia bukan cinta sejatinya. Berselingkuh dan pengecut. Namun, dia bukanlah orang jahat.

Julies ( agak lupa dengan nama-nya. Kemungkinan sih ini. Mohon maaf dan tolong beritahu kalau ada kesalahan) : Sahabat Ginny, sudah 10 tahun lebih. Sahabat cewe. Pengacara, masih lajang dan entah kenapa dia sama peter gak bersatu aja. Kemungkinan besar karena ketidak cocokkan. Mungkin.

Peter :  Sahabat cowo-nya Ginny. Profesi pekerjaannya sebagai wartawan. Dia mulai menunjukkan dan meneliti banyak kasus. Karakternya egois dan tak mau menyerah, kadang-kadang sangat di sayangkan denganb karakternya ini -terutama akhir dari kisahnya- jika tak salah, ia berakhir di pengadilan/ penjara dan di pecat dari profesinya karena memukul wanita -Ginny- 

Tokoh lain yang tak banyak mengambil peran : Ayah Ginny (Geoffrey), Winston (Kucing Ginny) Tetangga sebelah -Roger dan Audrey benson- yang sudah tua, Flick Roberta (anak perempuan Ginny yang masih bayi) muncul pada halaman terakhir, William (kakak Robert a.k.a Sean), Bibi Robert a.k.a Sean -lupa namanya- dan tokoh antagonis yang hanya muncul melalui penggambaran tokoh lain -tak pernah benar-benar muncul- ini seperti masa lalu. Alex Blakeley. Yang yah. Penjahat sesungguhnya. 

NOTHING TO FEAR 
[JANGAN PERNAH TAKUT]



EPILOG
By Annida Sholihah

Pagi yang cerah, Ginny terbangun dari tidur nyenyaknya. Flick menangis. Ia segera bangkit. Berlari ke kamar sebelah, satu-satunya kamar setelah kamarnya -yang saling terhubung- dengan satu pintu. Flick menangis semakin keras. 
"Oh... Diamlah sayang" Ucap Ginny lembut di telinga Flick, anak perempuan mungil itu terdiam. Manis. Dipangkuan ibunya. Ginny kembali membaringkan Flick ke tempat tidur. Ia masih harus memasak air, mencuci baju dan memeriksa kebun-kebunnya. 

Bagi Ginny, hidup sendirian sudah tak lagi menyebalkan. Lingkungan ini benar-benar tenang, seperti yang pernah ia katakan. Ayahnya selalu datang sesekali, bermain-main dengan putrinya -yang sebentar lagi- berumur 1 tahun 4 bulan. Dan sahabatnya -Julies- selalu datang di akhir pekan. Untuk sekedar melepas lelah dan saling menceritakan yang terjadi di kehidupan mereka, sekedar melepas rindu, dan hanya untuk menemani hari-hari Ginny yang kesepian. 

Lambat laun, Ginny mulai sibuk dengan proyek barunya. Menulis sebuah buku anak-anak. Flick sudah cukup besar untuk tidak selalu menangis setiap saat. Bahkan banyak dari tetangga barunya yang mengajak gadis mungil itu bermain dengan anak-anak mereka. Cukup waktu untuk mengerjakan tugas kebun Ginny -yang menurutnya- asyik tapi merepotkan. 

"Aku butuh petugas. Aaaaah ya ampun" Ginny mendesah kesal, dari luar, masih terdengar suara tangisan Flick. Akhir-akhir ini, tidak seperti biasanya. Flick sering sekali menangis tanpa sebab. Di pagi hari, membuat Ginny kesulitan. Ginny segera berlari masuk. Meninggalkan tugas kebun-nya begitu saja. 

"ssssssssstttt. Ayolah, mom harus memasak air hangat untukmu mandi" Ginny kemudian meninggalkan Flick sendirian di ruang tamu -dengan mainannya- dan berlari ke dapur, diam-diam seseorang dengan jaket cokelat tua dan topi hitam musim panas, menyaksikan itu semua di sela pohon apel kesayangan Ginny. Ia tersenyum, samar, hampir tak terlihat. Ginny menyadarinya, orang itu cukup cepat untuk menghilang begitu saja. Sebuah surat -sengaja- menyangkut di tempat yang baru saja di tinggalkan oleh pria misterius tersebut.

Ginny hampir berteriak saking takutnya, ia menoleh. Menyadari tak ada siapapun di tempat ini. Butuh waktu 10 menit untuk mencapai rumah tetangga terdekatnya. Akal sehatnya menyuruh Ginny untuk berlari menuju Flick, lalu menelepon sahabatnya -Julies- dan pergi ke rumah tetangga dekatnya itu. Tapi, ia terlalu penasaran dengan isi 'surat'-nya. Dengan perdebatan yang membingungkan, Ginny memilih mengambilnya. Menyimpannya di saku bajunya. Dan segera berlari, sejauh yang dia bisa. Sesuai rencananya. 

***
Lima jam kemudian, Julies sampai di rumah Ginny. Dia langsung menyetir ke sini begitu mendengar pesan Ginny. Ia tampak kelelahan -dan khawatir-

"Oh sayang... Apa kau baik-baik saja?" 

"Tidak. Oh- maksudku ya. Aku baik-baik saja, aku terlalu takut Jen"

"Yaampun. Kau kacau. Kacau sekali, Ginny. Ayolah kita buat teh dulu oke?" Ginny mengangguk, air matanya sudah kering. Ia mengangkat Flick -yang sudah di mandikan, makan dan cukup bermain dengan anak tetangganya- ke pangkuannya. 
Julies menghirup aroma teh dalam-dalam. Ia menatap Ginny dan mulai mengecoh banyak hal. 

"Hey, ceritakan padaku apa yang terjadi? Aku sudah menyetir terlalu lama, well, maksudku- aku hanya terlalu khawatir" 

"Tidak. Aku hanya terlalu paranoid Jen. Thanks, kau datang- yeah, terlalu mengejutkan" Ginny mulai tersenyum. Ia mengikuti cara Julies menghirup aroma teh-nya dalam-dalam. Menenangkan pikirannya. 

"Ini, bacalah. Aku menemukannya. Tersangkut" Ginny menyodorkan kertas -yang tampaknya sudah kecek- dari kantong bajunya. Kertas peninggalan, orang yang membuatnya lari ketakutan. Dengan senang hati, Julies menerimanya. Terkejut. Bola mata hampir keluar dari matanya. Ia menatap Ginny tak percaya. 

"Well, sejak kapan?" tanyanya tanpa peringatan. Ginny masih tak tau apa-apa. 

"Ginny. Ini Sean, ini pasti dia. Lihatlah" Tanpa menghiraukan protes Ginny, Julies membacakan isi suratnya keras-keras, Cukup keras untuk membuat Flick terbangun dari tidur siangnya yang indah. Ekspresi Ginny datar. Antara terkejut dan tak percaya. 
***

Pagi yang cerah itu datang lagi. Hari-hari Ginny dimulai seperti biasa, tangisan Flick. Julies memilih kembali ke London. Katanya sih karena dia ada pekerjaan. Begitulah. Ginny tak bisa memaksa sahabatnya itu untuk menginap di rumahnya, walaupun sebagian hatinya ingin agar Julies tetap tinggal. 

"Selamat malam, maafkan aku. Aku akan menelepon, oke?" Ginny hanya mengangguk sedih, ia memeluk Julies lama, saat mereka berpisah. Di depan pintu. 

Seseorang yang sama tengah mengamati Ginny. Di tempat yang sama, Ginny tidak terkejut -apalagi berteriak- ia mengejar orang itu sebelum kehilangan -lagi- Hampir gagal. 

"Sean.... oh Robert!!!!" Teriak Ginny putus asa, jarak mereka sudah terlalu jauh. Dan yah, dia tak bisa meninggalkan Flick sendirian. Di rumah. Pria itu berhenti sesaat, seperti tengah memikirkan sesuatu. 

"Berhentilah, Please?" _________ "Itu menakutkan" Sambung Ginny, penuh dengan harap. Pria itu, bimbang. Namun ia berbalik, pada akhirnya. Air mata -yang tertahan- mulai membasahi pipi Ginny, hangat, mengalir deras. Ginny berjalan mendekati pria itu. Berhenti, hanya sekedar untuk memastikan. 

"Kaukah itu? Kau? Sean? Robert? Kau-oh Ya Tuhan. Robert!" Ginny mulai terisak, pria itu -Robert- a.k.a Sean. Tetap berdiri di tempatnya, diam tak bergerak. Matanya mengamati wajah Ginny lekat-lekat. Mencoba mengenyahkan air matanya. Tapi, tetap saja. Dia tak bergerak. 

Ginny mulai melangkah mendekat, lebih dekat. Tangannya mereka hampir bersentuhan. Ia menghapus air matanya dan mulai memukuli dada Sean pelan. 

"Banjingan! Kaparat! Sialan kau Sean -Robert!" 

"Kau sialan! Seharusnya kau kembali, dan yah, katakan semua itu. Katakan. Oh ya ampun Sialan sialan sialan" Tangan Ginny terus memukul, air matanya mengalir deras. Sean menghentikannya, memeluk Ginny dengan erat, mengusap air matanya dan bergumam pelan, 

"Maafkan aku, maaf. Maafkan aku, Ginny" 

Ginny semakin terisak, di pelukan Sean. 

"Oh ayolah, berhentilah menangis. Kau jelek jika menangis, sayang" Ginny memukul lengan Sean pelan. Tangisan Flick menghentikan semuanya, dengan panik Ginny menarik tangan Sean pergi, membawanya ke rumahnya. Seakan-akan takut, pria ini pergi lagi. Sean hanya tersenyum penuh penyesalan. 

"Aku seharusnya pergi" Ucap Sean lembut. sebelum benar-benar memasuki halaman rumah Ginny

"Tidak, Sean oh Robert. Ayolah. Kau Robert. Akan kuceritakan semuanya, Tidak, jangan pergi, oke ya. Aku mohon padamu?" Ginny memelas, tetap menggenggam erat lengan Sean. 

"Ginny. Dengar, aku tak berhak. Aku harus pergi" 

Tangisan Flick semakin keras, mereka berdua sama-sama tak tega. Akhirnya Ginny melepaskan tangan Sean. 

"Sean, kumohon masuklah. Lihatlah Flick. Flick, anak kita" Ucap Ginny sekali lagi, berharap Sean tak pergi. Sean terdiam lama, menatap Ginny yang telah memeluk Flick di bahunya. Ia menghela nafas panjang. Melangkahkan kakinya memaksuki halaman rumah Ginny. Ada seyum samar, di wajah Ginny. 

"Ayo, ini. Angkat dia" Ginny menyerahkan Flick ke pangkuan Sean. Terkejut dengan reaksinya. 

"Lihat kan, dia mirip dengan ayahnya, dia juga suka dengan ayahnya" Sean tersenyum, memandangi lekukan yang mulus di leher Flick. 

"Kupikir, siapa namanya? Flick? Mirip denganmu" 

"Flick Roberta" Ujar Ginny, mengoreksi. Sean terkejut. Cukup membuktikan bahwa ia tak mengerti. 

"Aku... Roberta? Hm... tak buruk" 

"Untukmu, dan Flick, itu nama ibuku. Sean, ayolah taruh dia di kamarnya" Saran Ginny. Sean hanya melongo tak mengerti. 

"Hey, aku... ah, aku baru memegangnya, berapa lama? Ohyah 10 menit" Sean menatap jam tangannya dan dengan gemas memandangi Ginny yang tampaknya sudah tak sabar. 

"Sean, aku sibuk. Bantulah aku, taruh dia sebelum menangis lagi, please?" 

Akhirnya Sean setuju, sepanjang hari itu ia menemani Ginny. Bercerita mengenai alasan-alasan lain. Masa lalu mereka -atau masa depan- mereka

"Sean. Ini, terlalu cepat" 

"Tidak, sudah terlalu lama. Aku berpikir untuk tak kembali" Sean menatap Ginny. Menyadari bahwa wanita ini butuh penjelasan. 

"Dengar, Ginny. Aku minta maaf. Untuk semuanya, ini sulit bagiku. Dan bagimu, juga kau dan Flick. Masa laluku. Aku sudah membicarakannya dengan bibiku dan yah dia memintaku mempertimbangkan semuanya baik-baik" ______ "Kupikir, aku bisa memulainya dari awal. Atau mengakhirinya. Dan kau sudah tau itu" 

Ginny mengangguk, "Aku tau, jadi?" 

"Jadi, ayo kita menikah. Kita besarkan Flick dengan baik dan tentang itu.... -Alex-" Ekspresinya sedikit berubah, ada ketegangan yang nampak di urat-urat wajahnya "Aku memastikan bahwa dia sudah lama mati, secara mengenaskan" Lanjutnya tanpa perasaan iba. 

"Sean. Kau akan terus hidup menjadi Sean?" 

"Kau tau, menjadi Sean, aku lebih suka itu. Kau tau lebih dari sekedar alasannya Ginny" Sean menangkat dagu Ginny dengan satu tangan. "Aku mencintaimu" Ucapnya, ia lalu mengecup dahi Ginny lembut. Mereka tersenyum, daaaaan berpelukan. 


THE END

Komentar : 

Gak bisa banyak-banyak nih. Haha~ karena kondisi bateray yang gak mau bersahabat :( Oke, ini agak absurd. Karena nulisnya malem-malem dan ada efek pusing-pusingnya. Kayaknya aku mau sakit pffft. 


Dan buat yang belum baca novelnya pasti gak akan ngerti deh. Maka dari itu agak membingungkan sih. Novel ini sangat sangat sangat menarik, sama seperti novel sebelumnya yang aku baca "Stray" tantang were cat, Shape shifter. Endingnya sudah memuaskan banget, cumaaaa.... ternyata ada seri-nya. Kayak Twilight, Harry Potter, ataupun The Hunger Games. Bikin bete aja, jadi pengen beli bukunya, tapi dimana? 

Well, btw beli buku terjemahan cukup susah lho. Apalagi kalau penulisnya gak terlalu terkenal di sini. Padahal sih, tulisannya bagus baget. Karyanya daebak! wuiiiish~ Baterai sudah lemah. Selamat Malam! Nida mau nonton seri Harry Potter yang ada Edwar Cullen -sebelum jadi vampir- dulu ya. Sudah ketinggalan setengah jalan cerita nih aaaah. Selamat Tidur. 

Terima Kasih. Bonus Pict,



4 comments:

Bikin orang bahagia gampang, kok. Kamu ngasih komentar di postinganku saja aku bahagia.

- Kutunggu komentarmu.