“I Love You. But…”
A Cerpen by Annida Sholihah
A story inspiration by Ibu Siti Khodijah
Serang - Banten, tahun 1990
ARIF
Beberapa
gadis tengah berjalan bersama teman-teman mereka di sore hari. Seperti
biasanya, gadis-gadis yang berkumpul dan bersatu dalam suatu komunitas di
lingkungan itu selalu melakukan hal yang
rutin mereka lakukan setiap sabtu sore.
Bekumpul dan menceritakan pengalaman mereka di suatu tempat. Totalnya ada empat orang. Mereka berjalan
membentuk dua barisan dan tertawa mengoda ke arah segerombolan pemuda ‘komplek’ yang tengah mengerjakan tugas
sekolah bersama. Pemuda-pemuda itu sebagian besar pemuda tingkat akhir di
bangku setingkat SMA. Waktu itu SLTA namanya. Hampir setiap sore mereka
berkumpul di tempat semacam ‘saung’ untuk bertukar soal dan mengerjakannya
bersama-sama. Sejak dulu sampai hari ini, tak ada hal yang mudah. Terutama
untuk tes masuk perguruan tinggi.
Anak
laki-laki itu menghentikan kegiatannya sejenak. Bersiul riang mengamati
gadis-gadis wangi melati dan mawar melesat di depan mereka. Diam-diam salah
satu dari mereka terus menatap seorang gadis dengan jepitan rambut kupu-kupu
dengan pandangan yang berbeda. Namanya Arif. Dan gadis itu, Sinta.
Arif
merupakan kakak kelas Sinta di sekolah. Ia tak banyak bicara dan terkenal
sebagai ‘panggeran es’ yang jarang
tersenyum, mengobrol, atau bahkan sekadar menyapa. Terutama Perempuan.
Tampaknya Arif seperti kebanyakan laki-laki lain. Hanya saja, sifat anehnya
–tak pernah berurusan dengan perempuan- itulah daya tarik yang benar-benar
membuatnya terkenal di seluruh sekolah. Banyak gadis-gadis yang membicarakannya
di jeda pelajaran, saat istirahat, atau mungkin saat mereka mampir ke kamar
mandi, banyak dari mereka yang berharap dapat sekedar mengatakan ‘hallo’, lebih
baik jika dia tersenyum ramah atau jika tidak mengatakan ‘hallo juga’. Seperti
itulah. Ekspresinya selalu datar jika berurusan dengan perempuan. Tinggi,
berbahu bidang, suaranya khas di tambah model rambut Mohawk yang menjadi trend
pada jaman itu membuat gadis manapun akan jatuh hati padanya.
Mereka menyadari Arif masih menatap ke
arah di mana gadis-gadis menghilang di belokan pertama dan bahkan sudah tak
tampak lagi punggungnya. Salah satu dari mereka –Rian- menyenggol lengan Arif
pelan. Tersenyum penuh misteri. Hari-hari Arif akan semakin berat, jika ia
kepergok kejadian seperti ini.
“Wuh.
Kartu AS yang bagus bung” Bisik Rian di tepat di telinganya. Pipi Arif memerah.
Malu sekaligus kesal. Ia melotot tajam, menyuruhnya diam.
Ketiga
temannya yang lain penatap mereka berdua penasaran. Sepanjang sisa waktu hari
itu, Arif tak bisa fokus pada tumpukan kertas di hadapannya.
Sial!
Umpatnya.
“Okelah.
Selesai sampai sini saja. Okelah, ayo kita pulang. Beres-beres dahulu jangankan
lupa” Reki, sebagai pemimpin acara belajar angkat bicara. Tanda belajar usai.
Arif menyadari ia sama sekali belum mengerti apapun yang di pelajari hari ini. Sebelum
benar-benar masuk ke dalam tas jinjing Reki. Ia menyambar semua kertas-kertas
latihan itu dan berseru,
“Saya
pinjam dulu Rek, nanti saya kembalikan jika sudah. Oke bung?” Teriaknya. Di
tempat yang sama, Reki hanya menghela nafas panjang.
***
SINTA
“Tadi
dia menatapmu, kamu tau itu kan?” Tanya gadis rok abu-abu selutut –Nana- dia
sahabat Sinta sejak sekolah dasar. Sinta pura-pura terkejut,
“Siapa?”
Tanyanya polos
“Ituuu…
aah, siapa ya namanya? Yang terkenal sebagai panggeran es”
“Arif?”
Nada suaranya datar, terkesan tak peduli. Jelas-jelas Arif sangat terkenal, mau
di sekolah, di komplek, di seluruh Desa ini. Orang-orang akan tau tentangnya,
terutama. Yaaah, gadis-gadis. Nana juga bukan orang baru di sini. Jadi, sudah
pasti. Nana hanya memprovokasinya.
Sinta
mengangkat bahu, tak peduli. Atau lebih tepatnya –berusaha tak terpengaruh-
“Aaaah
saya gak merasa begitu, mungkin dia sakit perut kali. Jadi dia diam tak
bergerak atau mungkin bisa jadi dia lihat hantu? Tapi saya gak mau nakutin kamu.
Kata ibu…” Kata-katanya mengambang. Terpotong begitu saja
“Berhenti
oke, saya tau. Sudahlah kamu sepertinya tak tertarik iye kan ?” Nana cemberut.
Tanda bahwa ia sudah menyerah, senyum simpul terlihat samar di bibir Sinta.
Mereka berdua kembali ke sebuah
tempat berlatar sawah di belakangnya. Dua orang temannya yang lain tengah asyik
berpose dalam gaya yang aneh –untuk saat ini- namun wajar di saat itu. Ia dan
Nana ikut bergabung. Dua orang dari mereka memakai rok selutut, kemeja
kotak-kotak bermotif polkadot dan rambut yang di tata sedemikian rupa, Nana dan
Siti. Sedangkan Sinta sendiri memakai celana jeans ketat selutut di padukan
dengan T-shirt biasa, tak lupa juga syal kuning yang cantik. Dan teman satunya
lagi, ia memakai celana jeans panjang dan kemeja kotak-kotak. Di tambah kacamata
hitam. Tadaaaa… Klik! Yup, Mereka mengadakan pemotretan untuk majalah sekolah. Sebelum
matahari tenggelam, mereka segera menyelesaikan kegiatannya.
***
“Nana!”
Arif memanggil nama perempuan untuk yang pertama kali, di sekolah. Selain di
kelas. Selain dalam hal formal tentunya. Yang di panggil tampak terkejut. Ia
berdiri, mukanya memerah. Sepertinya karena senang. Ia mengenggam tangan
seorang di sebelahnya –yang masih duduk manis- dengan erat. Saking nervous-nya.
“Bisa
kita bicara sebentar kan?” ia sedikit berteriak, jarak mereka cukup jauh. Nana
mengangguk beberapa kali. Hatinya keburu berbunga-bunga duluan. Di tempatnya
Arif hanya menatap sahabatnya kesal, dan yang tak terduga adalah….
Diam-diam
Sinta cemburu, di tempatnya.
Komentar :
Lanjut Part 2. Biar seru dan penasaran ^-^ Tolong kasih komentar dong untuk perbaikan kedepannya. Makasih XD